Shiny Sky Blue Star

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Universitas GUNADARMA

Rumah kedua ku tempat belajar segala hal, khususnya dalam bidang akademik.. Universitas swasta no4 terbaik se Indonesia.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 04 Mei 2013

POSTING JURNAL HAKI 7


REVIEW JURNAL "Permasalahan Pelanggaran Dan Langkah Hukum Hak Cipta Atas Musik Dan Lagu Yang Dituangkan Dalam Bentuk VCD Dan DVD"

Budi Agus Riswandi
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Jl. Tamansiswa No. 158 Yogyakarta



Langkah – Langkah Hukum yang telah Ditempuh Pemerintah untuk Mengurangi Pelanggaran Hukum Hak Cipta atas Musik dan Lagu yang Dituangkan dalam Bentuk VCD/DVD.

Dengan ditemukannya permasalahan-permasalahan dalam pelanggaran hak cipta atas musik dan lagu dalam bentuk VCD/DVD dibutuhkan berbagai langkah hukum. Langkah hukum ini adalah suatu tindakan yang diambil guna mengurangi pelanggaran hak cipta oleh pedagang VCD/DVD musik dan lagu bajakan. Tindakan tersebut dapat dilakukan oleh aparat pemerintah atau penegak hukum.
Dari penelitian yang telah dilaksanakan sebenarnya baik pemerintah maupun aparat penegak hukum telah mengambil langkah-langkah hukum terhadap pelanggaran hak cipta atas musik dan lagu dalam bentuk VCD/DVD bajakan.
            Langkah-langkah hukum yang biasanya dilakukan oleh pemerintah, misalnya melakukan kegiatan sosialisasi tentang hak cipta dan melakukan kerjasama dengan instansi pemerintah pusat seperti Direktorat Jenderal HKI.
Dalam hal sosialisasi tentang hak cipta terkadang dilakukan oleh Setda Biro Hukum atau Kantor Wilayah Hukum dan HAM. Sosialisasi ini biasanya menghadirkan pakar-pakar dalam bidang hak cipta.
Sosialisasi atas hak cipta terkadang dilakukan juga oleh masyarakat. Hal ini sekaligus merupakan bentuk kepedulian masyarakat akan pentingnya melindungi dan menghargai hak cipta orang lain.
Salah satu persoalan di dalam memberikan sosialisasi ini memang pola sosialisasi belum dilakukan secara sistemik dan terkoordinasi. Bukti belum sistemiknya sosialisasi ini di mana belum ada target-target khusus dari pemerintah pada segmen masyarakat tertentu dalam bersosialisasi, sehingga dalam jangka waktu tertentu terbentuk kesadaran masyarakat atas hak cipta ini.
Selanjutnya, masalah lainnya dari langkah hukum yang diambil ini berupa belum terkoordinasikannya antar lembaga pemerintah dan antar lembaga pemerintah dengan lembaga swasta. Alhasil kecenderungan terjadinya duplikasi materi sosialisasi tidak dapat dihindarkan.
Langkah yang ditempuh oleh Aparat Penegak hukum dilakukan berupa penegakan hukum hak cipta. Penegakan hukum yang dilakukan dengan mengambil tindakan hukum refresif. Tindakan hukum refresif ini biasanya dilakukan dengan sistem terjadual. Istilah yang dikenal adalah tindakan razia.
Penegakan hukum hak cipta oleh pihak kepolisian sebenarnya memposisikan polisi harus proaktif. Hal ini sejalan dengan delik pidana yang dianut yakni delik biasa. Delik biasa ini artinya polisi diberikan wewenang untuk mengambil tindakan hukum setiap saat jika ditemukan adanya pelanggaran hak cipta, tanpa harus menunggu adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan.
Secara teoritik penerapan delik biasa dalam ketentuan hukum hak cipta dikarenakan adanya beberapa pertimbangan:
1.     kerugian ditimbulkan dari adanya pelanggaran hak cipta tidak hanya diderita oleh pemegang hak cipta. Negara juga ikut dirugikan akibat tidak memperoleh pajak penghasilan atas keuntungan yang diperoleh dari pembajakan tersebut.
2.     Adanya pelanggaran hak cipta yang tidak ditangani dengan serius pada akhirnya dapat menambah tatanana sosial, hukum dan ekonomi.
3.     Pelanggaran hak cipta sebagai hak milik perorangan, lebih tepat diklasifikasikan sebagai delik biasa seperti halnya terhadap pencurian, perampasan, penipuan.

Dari hasil tindakan hukum refresif ini diperoleh hasil-hasil berupa tindakan penyitaan atas produk-produk VCD/DVD bajakan dengan jumlah 500 ribu keping.
Dalam hal penegakan hukum refresif ini nampaknya ada berbagai macam kendala yang ditemukan. Kendala tersebut, di antaranya; Pertama, dari segi ketentuan hukum hak cipta, masih disadari adanya perbedaan penafsiran terutama terkait dengan ketentuan Pasal 72 UU Hak Cipta. Untuk penerapan ketentuan Pasal 72 ini senantiasa harus menyertakan pelanggaran yang terdapat pada ayat (1). Padahal, pihak kepolisian dalam menerapkan ketentuan Pasal 72 ini tidak selalu menyertakan ketentuan Pasal 71 ayat (1).
Kedua, ketersediaan aparat penegak hukum yang terbatas dalam melakukan penanganan pelanggaran hak cipta. Di samping keterbatasan personil, juga aparat penegak hukum mengalami keterbatasan pemahaman atas hukum hak cipta. Maka, tidak jarang ketika aparat penegak hukum melakukan tindakan hukum senantiasa melibatkan ahli-ahli di bidang hak cipta.
Ketiga, budaya masyarakat yang belum kondusif bagi penegakan hukum hak cipta. Tindakan hukum yang dilakukan oleh penegak hukum sering dipahami sebagai suatu bentuk kesewenang-wenangan. Padahal, hal ini barangkali disebabkan budaya masyarakat terutama yang melakukan pelanggaran, di mana pelanggaran tersebut dianggap sebagai sesuatu yang biasa, bahkan cenderung mendapat “pembenaran.” Sederhananya, budaya menghargai hak orang lain di masyarakat belum benar-benar terbangun.
Keempat, penegakan hukum oleh aparat penegak hukum sering dibenturkan dengan tindakan-tindakan politis. Hal ini tentu berdampak buruk terhadap penegakan hukum hak cipta secara keseluruahan. Semisal, adanya tindakan demonstrasi oleh para pelanggar kepada pihak legislatif daerah. Tindakan demonstrasi itu sendiri mendapatkan tanggapan dari para wakil rakyat di daerah yang cenderung dipahaminya hanya dari segi politis. Memahami sejumlah kendala dalam penegakan hukum hak cipta, maka diperlukan upaya upaya pembenahan atas penegakan hukum hak cipta sendiri.
Beberapa hal yang semetinya dilakukan guna menunjang efektifitas penegakan hukum ini dapat dilakukan melalui:
Pertama, perlunya ketentuan hukum dan perundang-undangan yang memadai serta adanya kepatuhan masyarakat untuk tidak melakukan pelanggaran.
            Kedua, perlunya penegakan hukum yang konsisten. Penegakan hukum yang efektif, akan memberikan perlindungan kepada pemilik atau pemegang hak, yang selanjutnya akan dapat memberikan manfaat bagi peningkatan berbagai kegiatan dalam masyarakat umum, negara dan perekonomian nasional.
Ketiga, diperlukan kerjasama, koordinasi dan strategi yang terpadu antara aparat penegak hukum. Penegakan hukum oleh aparat pemerintah dilaksanakan oleh berbagai instansi yang terkait antara lain; Kepolisian, Kejaksaan, Hakim, Ditjen HKI, Deperindag, Pemda dan lain-lain.
Sejalan dengan itu Ramelan memberikan pendapatnya bahwa dalam melakukan penegakan hukum hak cipta diperlukan kebijakan dan strategi penegakan hukum. Untuk kebijakan penegakan hukum hak cipta menurutnya dapat dilakukan melalui hal-hal sebagai berikut:
Pertama, pendekatan komprehensif yaitu pendekatan yuridis dalam rangka mewujudkan cita ketertiban dan kepastian hukum, pendekatan filosofis dalam rangka menegakan cita keadilan, dan pendekatan sosiologis dalam rangka mewujudkan cita manfaat bagi masyarakat. Pendekatan tersebut dilaksanakan dengan mengindahkan norma norma keagamaan serta menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Kedua, membangun kepercayaan masyarakat terhadap hukum dengan memberdayakan institusi penegakan hukum.
Ketiga, sumber daya manusia memiliki peran yang menentukan dalam mengemban dan mengembangkan misi aparat penegak hukum, di samping sarana dan prasarana. Untuk masud tersebut, kebijakan penegakan hukum hak cipa di arahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sehingga memiliki kemampuan serta keterampilan yang meliputi: a). Pengembangan profesionalisme di bidang penguasaan pengetahuan teknis dan menajerial; b). Meningkatkan integritas kepribadiaan; c). Memupuk siakp/kader disiplin aparatur.
Keempat, membangun budaya masyarakat yang patuh dan taat hukum sebagai iklim yang kondusif dalam penegakan hukum. Untuk strategi penegakan hukum hak cipta beberapa hal yang harus dilaksanakan adalah:
Pertama, penyidikan dan penuntutan tindak pidana hak cipta diarahkan untuk mengungkap sumber kejahatan yang melibatkan pelaku-pelaku produsen kejahatan hak cipta bukan sekedar pengedar atau pemakai. Stretegi ini dimaksudkan untuk membangun dan memulihkan kepercayaan masyarakat domestik maupun internasional bahwa pemerintah benar-benar serius memberikan perlindungan hak cipta.
Kedua, meningkatkan pelaksanaan penerapan dan penegakan hukum yang memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada masyarakat pencari keadilan. Strategi ini dimaksudkan agar proses penegakan hukum berlangsung secara proposional dan profesional, sehingga aparat penegak hukum terhindar daro kesalahan dalam proses penyidikan, penuntutan, putusan dan ekekusi.
Ketiga, menerapkan prinsip-prinsip akutabilitas dan transparansi dalam penegakan hukum hak cipta. Strategi ini ditujukan sebagai bentuk pertanggung jawaban kepada publik. Untuk itu agar diupayakan publikasi penanganan perkara sejak dari penyidikan sampai dengan eksekusi secara terus menerus sehingga masyarakat mengetahui dan mengikuti perkembangan penyelesaian perkara tersebut secara benar. Dengan demikian diharapkan masyarakat dapat menentukan posisi partisipasinya dalam pemberantasan dan penegakan kejahatan hak cipta.
Keempat, mengembangkan sistem manajemen dan organisasi penegak hukum yang mantap sebagai pengayom masyarakat. Strategi ini dimaksudkan agar masyarakat dengan mudah dan jelas menyampaikan laporan atas kejahatan yang ditemukan kepada aparat penegak hukum.
Kelima, mengembangkan keterpaduan dalam proses penegakan hukum melalui penyelidikan/penyidikan gaubngan antara penyidik dan penuntut umum. Strategi ini dimaksudkan untuk mempercepat proses penanganan perkara, mencegah terjadinya bolak balik perkara antara penuntut umum dengan penyidik.

Penutup

Dengan berdasarkan pada hasil pembahasan pada bab sebelumnya, maka penelitian ini dapat menyimpulkan dua hal, yakni; Pertama, pelanggaran hak cipta terjadi disebabkan adanya permasalahan hukum hak cipta. Permasalahan tersebut mencakup pada permasalahan penyelesaian pelanggaran baik secara keperdataan maupun pidana. Di samping itu, permasalahan lainnya yang timbul dari pelanggaran hak cipta musik dan lagu yang dituangkan dalam bentuk VCD/DVD disebabkan persoalan sosial ekonomi masyarakat (baca: pelanggar). Kedua, untuk menyelesaikan permasalahan pelanggaran hak cipta musik dan lagu yang dituangkan dalam bentuk VCD/DVD ini biasanya ditempuh oleh pemerintah dengan melakukan dua langkah, yakni; sosialisasi hukum hak cipta dan melakukan penegakan hukum hak cipta. Sosialisasi ini dilaksanakan oleh beberapa lembaga pemerintahan seperti Setda Biro Hukum, Desperindag, Kanwil Hukum dan HAM dan instansi lainnya dengan menghadirkan nara sumber yang dianggap ahli di dalam hukum hak cipta. Penegakan hukum hak cipta merupakan langkah berikutnya. Penegakan hukum yang dilakukan dengan mengambil tindakan hukum represif.

Nama : Febrina Yunita
Kelas  : 2EB08
NPM  : 27211813




Link-link Gunadarma
Gunadarma University
BAAK Gunadarma
Student Site Gunadarma
Perpustakaan Online
SAP Gunadarma

POSTING JURNAL HAKI 6




REVIEW JURNAL "Permasalahan Pelanggaran Dan Langkah Hukum Hak Cipta Atas Musik Dan Lagu Yang Dituangkan Dalam Bentuk VCD Dan DVD"

Budi Agus Riswandi
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Jl. Tamansiswa No. 158 Yogyakarta

Hasil dan Pembahasan

Permasalahan Pelanggaran Hak Cipta atas Musik dan Lagu yang Dituangkan dalam Bentuk VCD/DVD di Jalan Mataram Yogyakarta Lokasi perdagangan VCD/DVD/CD bajakan yang sangat populer di Daerah Istimewa Yogyakarta berada di sepanjang Jalan Mataram. Daerah tersebut merupakan kawasan yang sangat strategis, karena terletak di pusat kota Yogyakarta, yakni berada di sebelah Timur Jalan Malioboro dan sebelah barat sungai (kali) Code.
Para pedagang VCD/DVD/CD bajakan ini latar belakang pendidikannya ratarata berpendidikan sekolah dasar hingga sekolah menengah umum. Dari segi latar belakang sosial ekonominya mereka dapat dikategorikan sebagai masyarakat bawah.Pedagang VCD/DVD/CD bajakan sendiri sebagian besar berasal dari lingkungan jalan mataram dan selebihnya berasal dari luar jalan Mataram.15
Para pedagang VCD/DVD/CD bajakan rata-rata telah melakukan perdagangan di Jalan Mataram rata-rata lebih dari 3 (tiga) tahun. Lama waktu perdagangan VCD/ DVD/CD bajakan di lingkungan Jalan Mataram ini biasanya dimulai dari jam 07.30 berakhir jam 22.00. Waktu biasanya dibagi menjadi dua sampai tiga shift. Sementara itu, yang menjaga kios sebagian besar mereka bukan dari pemilik kios tersebut.
VCD dan DVD bajakan yang dipedagangkan itu meliputi VCD yang berisi musik dan lagu dan DVD yang berisi film, sedangkan VCD maupun DVD kosong mereka tidak memperdagangkan. Transaksi perdagangan VCD dijual sebesar rata-rata sebesar Rp. 3.000,-/keping, DVD dijual sebesar Rp. 7.000,-/keping, sedangkan CD dijual sebesar Rp. 4.000,-/keping.
Adapun VCD, DVD dan CD yang bermuatan musik dan lagu serta film tidak saja musik, lagu dan film yang berasal dari dalam negeri, tetapi ada juga yang berasal dari luar negeri. Contoh VCD musik dan lagu yang berasal dari luar negeri TATAYOUNG yang berasal dari Thailand, sedangkan untuk DVD seperti Film yang berjudul The Pirate of Carribien 3. Untuk VCD musik dan lagu yang berasal dari dalam negeri seperti musik dan lagu milik Peterpan, Ada Band dan sebagainya, untuk filmnya yang dimuat dalam bentuk DVD seperti, film Kuntilanak, Pocong dan lain sebagainya, sedangkan musik dan lagu yang dibajak dalam bentuk CD seperti musik dan lagu, Slank, Gigi, Melly Goeslow, Dewa dan banyak lagi yang lainnya.
Biasanya perdagangan VCD/DVD/CD bajakan yang paling laku didominasi oleh VCD/DVD/CD bajakan yang isinya merupakan hal terbaru. Pedagang VCD, DVD dan CD bajakan setiap kiosnya memperdagangkan kurang lebih 500 keping VCD, DVD dan CD, sementara itu di Jalan Mataram ada kira-kira 30 (tiga puluh kios) yang melakukan perdagangan VCD/DVD/CD bajakan. Dari tiga puluh kios tersebut ada yang sifatnya kios permanen dan temporer. Dari tiga puluh kios ini sebenarnya ada satu kios yang bernama Playerindo yang selain melakukan perdagangan kepada konsumen langsung juga mensuplay ke beberapa kios lainnya.
Perlu diketahui bahwa disekitar pedagang VCD/DVD/CD bajakan ini terdapat juga kios permanen yang memperdagangkan VCD/DVD/CD legal. Kios permanen ini adalah Popeye.
Dalam transaksi perdagangan VCD/DVD/CD bajakan ini diketemukan ada banyak pihak yang terlibat. Pihak-pihak disini tidak hanya antara pedagang dengan pembeli/konsumen, tetapi ada pihak-pihak lainnya, yakni; supplier, preman, polisi dan petugas retribusi dan tukang parkir.
Dari praktek perdagangan VCD/DVD bajakan, maka sangat jelas bahwa praktek perdagangan VCD/DVD bajakan merupakan suatu tindakan pelanggaran hukum hak cipta. Pelanggaran hukum hak cipta ini dapat menimbulkan kerugian yang sangat luas. Pelanggaran hak cipta bukan hanya merugikan “economic rights” dari pemilik atau pemegang hak, namun dalam skala yang lebih luas juga menimbulkan dampak negatif bagi pemerintah serta masyarakat luas, yang secara totalitas menimbulkan kerugian yang sangat besar. Menurut Ditjen Bea Cukai kerugian-kerugian tersebut secara jelas lagi dapat dibagi kepada 3 pihak, yakni:
1.     Kerugian konsumen
Konsumen harus membayar mahal untuk barang palus, berkualitas rendah, mudah rusak dan mengakibatkan kerusakan materi serta membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa.
2.     Kerugian masyarakat usaha, pemegang hak, pencipta
Turunnya nilai penjualan, kerugian finansial, kerugian moral (moral rights), rusaknya reputasi, menurunnya kreatifitas dan hilangnya insentif untuk melakukan inovasi, terganggunya pengembangan teknologi.
3.     kerugian pemerintah, negara dan perekonomian
Terganggunya perekonomian nasional, hilangnya pendapatan pajak, hilangnya kepercayaan internasional, rusaknya moralitas bangsa, terhambatnya alih tekonologi baru, keengganan PMA untuk invenstasi, terhambatnya akses pasar untuk komoditi ekspor, ancaman terhadap perdagangan internasional.

Dalam hal pelanggaran hukum hak cipta sendiri, bentuk pelanggaran ini ada yang bersifat keperdataan dan ada yang bersifat pidana. Dalam kaitannya dengan sifat keperdataan, dalam praktek perdagangan VCD/DVD bajakan ini pihak pedagang telah melanggar hak ekonomi dari pencipta/pemegang hak cipta. Pelanggaran hak ekonomi tersebut berupa pengumuman. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 UU Hak Cipta yang menyatakan bahwa pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar atau dilihat orang lain.
Dari bunyi ketentuan tadi sangat jelas bahwa melakukan penjualan ciptaan yang dilindungi hak cipta merupakan bentuk pengumuman. Hal yang dipraktekkan oleh pedagang VCD/DVD bajakan berupa mengumumkan (baca: menjual) tanpa izin
dari pemegang hak cipta, di mana tindakan ini merupakan pelanggaran hukum hak cipta.
Apabila pelanggaran hukum hak cipta ini dilihat dari sisi keperdataan, maka
pemegang hak cipta dapat melakukan upaya-upaya hukum berupa gugatan ke
Pengadilan Niaga. Di dalam Pasal 56 ayat (1) UU Hak Cipta menyatakan: “Pemegang hak cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran hak ciptaannya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakan ciptaan itu.”
Selanjutnya di dalam Pasal 56 ayat (3) UU Hak Cipta memberikan upaya pencegahan melalui peran aktif hakim berupa pengeluaran perintah kepada pelanggar untuk menghentikan kegiatan pengumuman dan/atau perbanyakan ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta.
Upaya pencegahan selain yang di atur sebagaimana tersebut di atas, dapat dilakukan juga melalui permintaan dari pihak yang merasa dirugikan. Model ini dikenal dengan istilah penetapan sementara pengadilan atau injunction. Biasanya, permintaan seperti ini terjadi tatkala hakim sebelum memeriksa gugatan tersebut.
Ada beberapa tujuan tatkala ada pihak yang merasa dirugikan meminta untuk
dilakukan penetapan sementara. Tujuannya adalah:
1.     Mencegah berlanjutnya pelanggaran hak cipta, khususnya mencegah masuknya barang yang diduga melanggar hak cipta atau hak terkait ke dalam jalur perdagangan, termasuk tindakan importasi.
2.     Menyimpan bukti yang berkaitan dengan pelanggaran hak cipta atau hak terkait tersebut guna menghidari terjadinya penghilangan barang bukti.
3.     Meminta kepada pihak yang merasa dirugikan, untuk memberikan bukti yang menyatakan bahwa pihak tersebut memang berhak atas hak cipta atau hak terkait dan hak pemohon tersebut memang sedang dilanggar.

Proses keperdataan ini tentunya berlaku juga bagi pelanggar hak cipta atas VCD/
DVD bajakan. Akan tetapi, sangat jarang pihak pemegang hak cipta mengambil upaya hukum keperdataan ini. Ada beberapa alasan pihak pemegang hak cipta jarang melakukan upaya ini, di antaranya: Pertama, proses keperdataan biasanya membutuhkan biaya, waktu dan tenaga yang tidak sedikit; Kedua, proses keperdataan  biasanya menuntut pemegang hak cipta untuk pro aktif di dalam menyelesaikan masalah. Hal ini tentu di anggap sebagai hal yang tidak produktif; Ketiga, sedikitnya atau minimnya pengetahuan pemegang hak cipta terhadap hukum hak cipta dan tidak terkecuali dalam konteks penyelesaian sengketa.
Atas dasar itu, maka tidak sedikit pihak-pihak yang merasa dirugikan dalam pelanggaran atas musik dan lagu dalam bentuk VCD/DVD bajakan akhirnya menempuh upaya hukum pidana. Sebagaimana diketahui, hukum hak cipta telah menentukan bahwa delik yang ditetapkan adalah delik biasa. Konsekuensi delik seperti ini adalah memposisikan pihak kepolisian harus proaktif dalam menyelesaikan pelanggaran hak cipta, dengan tidak harus menunggu adanya pelaporan dari pencipta/pemegang hak cipta.
Proses pidana ini diawali dengan tindakan penyidikan oleh pihak kepolisian. Setelah proses dikepolisian selesaikan, maka dilanjutkan ke pihak kejaksaan untuk dilakukan penuntutan. Apabila tuntutan telah dibuat, proses selanjutya adalah pemeriksaan di Pengadilan Negeri oleh pihak hakim. Hakim berperan tidak hanya memeriksa perkara tetapi hingga memutuskan perkara tersebut.
Di dalam hukum hak cipta telah dirumuskan beberapa tindakan/perbuatan yang dapat dikategorikan pelanggaran hak cipta. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 72 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), (8), (9) UU Hak Cipta. Intinya beberapa perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana adalah:
1.     Perbuatan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan berupa perbanyakan dan pengumuman ciptaan atau pelanggaran atas hak moral pencipta.
2.     Perbuatan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada pihak umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait.
3.     Perbuatan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer.
4.     Perbuatan dengan sengaja melanggar dengan cara mengumumkan setiap ciptaan yang bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah di bidang agama, pertahanan dan keamanan negara, kesusilaan serta ketertiban umum.
5.     Perbuatan sengaja melanggar Pasal 19, Pasal 20 atau Pasal 49 ayat (3).
6.     Perbuatan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 24 atau Pasal 55.
7.     Perbuatan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 25.
8.     Perbuatan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 27.
9.     Perbuatan sengaja melanggar Pasal 28.

Mencermati kategorisasi dari perbuatan pidana tersebut, maka bentuk memperjualbelikan musik dan lagu dalam bentuk VCD/DVD bajakan sesungguhnya sejalan dengan rumusan perbuatan yang pertama dan kedua.
Untuk permasalahan pelanggaran hak cipta dalam konteks pidananya dapat dikemukakan beberapa permasalahan juga yaitu; pertama, tindak pidana hak cipta apabila harus ditegakkan dalam pelanggaran hak cipta bagi pelanggar dipandang sebagai sebagai ultimum remedium, meskipun undang-undang sendiri tidak menyatakan demikian, sehingga hal ini berdampak pada penegakan hukum hak cipta; kedua, adanya pemahaman yang terbatas dari aparat penegak hukum tatkala akan menerapkan tindak pidana hak cipta kepada para pelanggar hak cipta. Konsekuensi lebih jauh tindak pidana hak cipta terkadang tidak efektif. Adanya pemahaman yang terbatas dari aparat penegak hukum tatkala akan menerapkan tindak pidana hak cipta kepada para pelanggar hak cipta. Konsekuensi lebih jauh tindak pidana hak cipta terkadang tidak efektif.
Setelah memahami pelanggaran hak cipta dan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pencipta/pemegang hak cipta serta permasalahannya, tentunya dapat diketahui bahwa pelanggaran hak cipta terjadi sesungguhnya bukan karena adanya beberapa permasalahan terkait dengan pelanggaran atas ketentuan hukum hak cipta saja. Tetapi ada permasalahan lainnya yang timbul dari pelanggaran hak cipta musik dan lagu dalam bentuk VCD/DVD bajakan. Hal-hal tersebut meliputi juga pada persoalan sosial ekonomi masyarakat.
Sebagaimana diketahui, bagi masyarakat Indonesia maraknya pelanggaran hak cipta tidak semata-mata dikarenakan tidak mengetahui pemberlakuan atas hukum hak cipta, tetapi dalih yang selama ini berkembang bahwa tindakan pelanggaran itu dilakukan mengingat tingkat sosial ekonomi masyarakat Indonesia yang masih rendah. Alhasil, dengan rendahnya tingkat ekonomi ini menjadikan masyarakat berani melakukan pelanggaran hukum hak cipta. Bagi mereka, prinsipnya bukan bagaimana hukum hak cipta dapat ditegakkan, tetapi yang lebih diutamakan adalah bagaimana kebutuhan ekonomi mereka dapat dipenuhi.

Nama  : Febrina Yunita
Kelas  : 2EB08
NPM  : 27211813




Link-link Gunadarma
Gunadarma University
BAAK Gunadarma
Student Site Gunadarma
Perpustakaan Online
SAP Gunadarma

POSTING JURNAL HAKI 5


REVIE JURNAL "HAK CIPTA DAN PENYEBARAN PENGETAHUAN"

Diao Ai Lien
Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta

B.          PENERAPAN HAK CIPTA DI ERA KEMAJUAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN INFORMASI

Di era kemajuan teknologi komunikasi dan informasi ini, publikasi, alih media, dan penyebaran informasi bisa dilakukan dengan mudah oleh siapa saja dan ke mana saja. Selesai menulis, meskipun baru berupa draft pertama, penulis dapat segera menaruhnya di suatu situs, webblog, ataupun milis. Melalui sarana ini, penulis bisa meminta masukan dari pembaca yang berasal dari pelbagai bangsa dan disiplin ilmu. Penulis dengan mudah bisa merevisi publikasinya, kapan saja (tidak harus menunggu sampai karya tersebut beredar selama 1 tahun misalnya, atau sesudah cetakan pertamanya habis terjual). Di samping itu, penulis dan setiap orang yang mengetahuinya, dapat menyebarkan alamat dokumen tersebut melalui milis atau email pribadi. Dokumen tersebut pun dengan mudah dapat dimanfaatkan oleh siapa saja.
Praktek tersebut di atas, yang disebut dengan open access, sudah merupakan perkara biasa di dunia maya. Hal ini sudah terbukti mempercepat penyebaran dan pemanfaatan karya ilmiah. Menurut Sahu, Gogtay, & Bavdekar (2005), open access memperbaiki tingkat kutipan (citation rates) di bidang fisika, matematika, dan astronomi6. Penelitian mereka terhadap sebuah jurnal multi-disiplin yang mengadopsi open access (OA) setelah 10 tahun terbit (setelah tahun 2000), menemukan antara lain, bahwa tidak satu pun artikel yang dipublikasikan sebelum OA dikutip pada tahun terbit. Sebaliknya, artikel yang dipublikasikan setelah OA, yaitu tahun 2002, 2003, dan 2004, dikutip 3, 7, dan 22 kali berturut-turut pada tahun terbit7.
Dengan bantuan teknologi, sepanjang tidak dibatasi oleh hak cipta (terutama hak ekonomi), percepatan penyebaran dan pemanfaatan pengetahuan bisa dengan mudah berlangsung tidak hanya di dalam disiplin ilmu yang sama, tetapi juga lintas disiplin. Kolaborasi ilmiah bisa berlangsung dengan mudah secara lintas batas geografi, waktu, disiplin, hirarkhi sosial, dan budaya. Kemudahan ini sangat mempercepat perkembangan ilmu pengetahuan.
Pertanyaannya sekarang adalah: apakah kemudahan yang diberikan oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informasi ini harus dihambat oleh hak cipta baik yang dipegang oleh penulis maupun penerbit? Apalagi penerapan hak cipta bisa berdampak seperti ’pedang bermata dua’ bagi penulis dan pengguna, bukan hanya dalam kasus pemanfaatan karya orang lain, tetapi juga karya sendiri.
Sebetulnya, pertanyaan yang mendasar adalah apakah masih dapat dibenarkan pemberlakuan hak cipta yang jangka waktunya begitu lama kalau memang perkembangan ilmu pengetahuan menjadi kepedulian utama semua pihak? Apalagi sampai memberlakukan harga yang begitu tinggi untuk lisensi setiap tahun per pengguna untuk dokumen elektronik yang tidak dapat diakses lagi pada saat sudah tidak dilanggan.
Sebetulnya, dasar pemberlakuan hak cipta adalah bahwa penulis perlu mendapat insentif untuk keorisinilan karyanya. Namun pertanyaannya adalah: siapakah sesungguhnya penulis suatu karya ilmiah?
Pengembangan ilmu pengetahuan merupakan usaha kolektif yang melibatkan ilmuwan yang hidup sejak dahulu sampai yang akan datang, karena pengembangan pengetahuan= senantiasa (harus) didasarkan pada penemuan-penemuan terdahulu. Dalam kenyataannya pun, suatu karya ilmiah jarang merupakan karya murni (utuh) penulisnya. Di dalamnya ada banyak pemikiran orang lain. Mungkin hanya sekian persen saja dari suatu karya merupakan hasil dari penulisnya (kecuali hasil penelitian yang berdasarkan eksperimen di laboratorium). Hasil penelitian tentang gaya hidup anak jalanan, misalnya, apalagi dengan menggunakan metode kualitatif, sebenarnya merupakan hasil bersama antara peneliti, anak jalanan (subyek penelitian), informan lainnya, dan penulis yang karyanya digunakan oleh si peneliti dalam penelitiannya. Dalam kenyataannya juga, bahkan pengguna turut memberikan sumbangan pemikiran dalam penerbitan suatu karya (dengan cara memberikan opini secara lisan maupun tertulis, melalui Internet atau dalam seminar, dsb.). Menurut Durham8, ”Naive acceptance of authorship as a predominantly individual and creative act may foster authorial rights that are too broad or too powerful for the good of society.”
Dengan demikian, tidak adil kalau atas suatu karya ilmiah, hak cipta (hak ekonomi) hanya diberikan pada penulisnya yang terdiri dari satu atau beberapa orang yang tercantum di bawah judul suatu karya. Apalagi kalau hak itu kemudian diberikan kepada penerbit yang justru (hampir) tidak turut dalam penciptaan namun yang akan mendapat keuntungan ekonomi terbesar.
Karena itu, sudah waktunya untuk memikirkan beberapa skenario lain untuk pengelolaan hak cipta, yaitu:
1.     hak cipta direduksi menjadi hanya hak moral
2.     hak cipta diberlakukan secara utuh tetapi tidak eklusif
3.     hak cipta diberlakukan secara utuh dan eksklusif tetapi dalam jangka waktu yang terbatas
4.     pilihan 1-3 diserahkan pada penulis atau kesepakatan antara penulis dan penerbit.

1.      Hak cipta direduksi menjadi hak moral
Yang dimaksud dengan pernyataan tersebut di atas adalah pemberlakuan hak cipta hanya sebatas hak moralnya. Dengan demikian siapa pun bisa mereproduksi, mengalihmediakan, dan menyebarkan suatu karya ilmiah, sepanjang bukan untuk tujuan komersial. Dengan demikian, jalur penyebaran informasi bisa lebih dipersingkat dengan memindahkan kendali penyebaran karya ilmiah dari penerbit ke penulis dan masyarakat, dan mengurangi proses publikasi yang lama dan biaya yang mahal. Monopoli hak cipta pun terhindari.
Hak cipta jenis ini sudah diberlakukan oleh gerakan Open Access (OA). Definisi OA menurut Budapest Open Access Initiative dan Public Library of Science adalah9: “the free availability of literature on the public Internet, permitting any users to read, download, copy, distribute, print, search, or link to the full texts of these articles, crawl them for indexing, pass them as data to software, or use them for any other lawful purpose, without financial, legal, or technical barriers other than those inseparable from gaining access to the internet itself.” (Birdsall, 2005) Di dalam konsep OA tersebut terkandung copyleft, yaitu sekumpulan lisensi yang diberikan pada setiap orang yang memiliki kopi suatu karya ilmiah untuk menjamin agar orang tersebut dapat menjalankan hak ekonomi atas karya tersebut (menggandakan, menyebarluaskan, memodifikasi) dengan syarat karya tersebut dan turunannya disebarkan dengan lisensi yang sama10. Dalam skenario ini, OA dan copyleft diberlakukan tidak hanya untuk dokumen elektronik, tetapi juga tercetak. Dengan cara demikian, hak cipta tidak hanya menguntungkan segelintir orang (terutama penerbit yang justru tidak turut dalam penciptaan) dan mengabaikan kontribusi banyak orang terhadap penciptaan suatu karya. Untuk mengurangi ketergantungan pada penerbit, peraturan mengenai penilaian dosen dan peneliti juga harus diubah, terutama dalam hal keharusan untuk menerbitkan dalam jurnal terakreditisasi dan/atau peer-reviewed. Kegiatan peer-review itu sendiri sebetulnya sudah bisa dilakukan di lembaga tempat dosen atau peneliti bekerja ataupun secara informal melalui rekan-rekan di milis. Dalam hal penerbit masih diperlukan untuk penyebaran dan menjamin dokumentasi, pemerintah perlu membuat peraturan agar penerbitan dikelola oleh lembaga not-for profit yang tidak diperbolehkan mengambil keuntungan yang tidak wajar dari usaha penerbitannya sehingga menghambat penyebaran pengetahuan ilmiah. Dalam menentukan harga jual, penerbit harus mendasarkan penghitungannya lebih pada biaya daripada keuntungan. Penerbit harus transparan dalam hal melaporkan pengelolaan biaya produksi, serta menentukan harga jual yang tidak melebihi batas yang ditentukan pemerintah.

2.     Hak cipta diberlakukan secara utuh tetapi tidak eklusif
Dalam hal ini, hak cipta tetap mengandung hak ekonomi dan hak moral. Namun siapapun yang memegangnya (penulis maupun penerbit), hak cipta (terutama hak ekonominya) tersebut tidak berlaku eksklusif dan dapat digunakan oleh siapa saja yang mempunyai dokumen yang bersangkutan, sepanjang tidak untuk tujuan komersial. Dengan demikian, meskipun hak cipta sudah diserahkan ke penerbit, penulis bisa dengan leluasa memberikan hak ciptanya ke pihak lain lagi dengan atau tanpa royalti. Penulis juga bisa dengan bebas mereproduksi, mengalihmediakan, dan mendistribusikan karyanya, di mana saja dan kapan saja. Penulis dapat menerbitkan karya yang sama di lebih dari satu media sepanjang media-media tersebut tidak berkeberatan mengenai hal ini, dan situasi ini dinyatakan dengan jelas di dalam publikasinya. Konsumen juga bisa memilih antara mendapatkan akses suatu karya melalui penerbit atau penulis atau melalui cara lain (misalnya dengan memfotokopi dari perpustakaan atau rekan sekerja). Dengan demikian tidak akan ada lagi monopoli hak cipta.

3.     Hak cipta diberlakukan secara utuh dan eksklusif tetapi dalam jangka waktu yang terbatas
Yang dimaksudkan dengan hal ini adalah, hak cipta tetap mengandung hak ekonomi dan hak moral, dan berlaku eksklusif bagi pemegangnya, namun jangka waktu berlaku hak ekonominya hanya 1-2 tahun (tergantung sejauh mana perkembangan pengetahuan akan ’dihambat’ demi pengumpulan keuntungan ekonomi). Sesudah jangka waktu tersebut berlalu, maka hak cipta utuh namun tidak eksklusif yang berlaku (lihat no. 2). Dengan perkataan lain, monopoli hak cipta hanya terjadi dalam waktu yang sangat terbatas.
4.     Pilihan diserahkan pada pemilik hak cipta
Negara atau komunitas yang memilih pengaturan hak cipta jenis ini, membiarkan para pelaku komunikasi ilmiah memilih sendiri di antara 3 pilihan tersebut di atas. Tugas pemerintah adalah menyediakan aturan permainannya. Pilihan apa pun yang diambil harus dengan tujuan untuk meningkatkan kecepatan perkembangan dan mutu ilmu pengetahuan yang bersangkutan.

III. RANGKUMAN

Hak cipta berpotensi menimbulkan masalah dalam pengembangan pengetahuan karena nature dari hak cipta itu sendiri. Potensi tersebut semakin besar karena dalam konteks pengetahuan ilmiah, produsen dan konsumen pengetahuan adalah orang yang sama. Di samping itu, karena tidak ada karya ilmiah yang tingkat keorisinilannya 100%, maka monopoli hak cipta oleh penulis patut dipertanyakan kelayakannya.
Untuk mengatasi atau meminimalkan dampak negatif hak cipta terhadap penyebaran dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah; suatu komunitas, negara, atau masyarakat internasional perlu memikirkan beberapa skenario penerapan hak cipta. Skenario apa pun yang dipilih, harus didasarkan pada pertimbangan ‘untuk kemajuan ilmu pengetahuan’, dilihat dari sisi pengarang yang hidup hari ini maupun yang akan datang, ”... ensuring the ’progress’ of knowledge and culture requires consideration not only of the rights and rewards of today’s author but also of the freedom of tomorrow’s author to continue the process.”11, dan juga dari sisi pihak lainnya (penerbit, perpustakaan, toko buku, pengguna, peers, dsb.) yang juga mempunyai peranan penting dalam komunikasi ilmiah.

Nama : Febrina Yunita
Kelas  : 2EB08
NPM  : 27211813




Link-link Gunadarma
Gunadarma University
BAAK Gunadarma
Student Site Gunadarma
Perpustakaan Online
SAP Gunadarma

POSTING JURNAL HAKI 4


REVIEW JURNAL "HAK CIPTA DAN PENYEBARAN PENGETAHUAN"

Diao Ai Lien
Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta

II. PEMBAHASAN

A.     HAMBATAN YANG DITIMBULKAN HAK CIPTA TERHADAP PENYEBARAN PENGETAHUAN

Ada dua faktor yang membuat hak cipta karya ilmiah mengandung potential problems bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Pertama adalah karakter (nature) dari hak cipta itu sendiri. Hak cipta memberikan pemegangnya hak untuk mempengaruhi keseluruhan siklus pengetahuan, secara positif maupun negatif, langsung maupun tidak langsung. Siklus pengetahuan dimulai dari penciptaan pengetahuan (melalui berpikir analitis, kritis, konstruktif), perekaman (menulis), publikasi (mengumumkan, menyebarkan), akses (pencarian dan penelusuran informasi), penggunaan (memilih, membaca, mencatat), sampai ke penciptaan kembali (lihat diagram di bawah ini).
Dalam pelaksanaannya, setiap tahap tersebut, langsung maupun tidak langsung, bersinggungan dengan hak cipta (hak ekonomi maupun moral). Misalnya, penciptaan bisa terjadi kalau si pencipta mempunyai kemudahan akses ke sumber yang lengkap. Pada waktu menulis (menyadur, menterjemahkan, memodifikasi, dsb.), penulis harus memperhatikan hak cipta (hak ekonomi dan hak moral) penulis dokumen yang digunakannya. Pada waktu publikasi karyanya, penulis harus memperhatikan sejauh mana dia akan melepaskan hak ekonominya dan apa konsekuensinya. Pada waktu publikasi karya orang lain, seseorang harus memperhatikan sejauh mana dia boleh memfotokopi, menyediakan ’link’ ke karya tersebut. Demikian seterusnya. Karena itu, pemberlakuan hak cipta yang berlebihan bisa menghambat perkembangan ilmu pengetahuan.
Faktor kedua yang bisa meningkatkan potensi masalah yang ditimbulkan oleh hak cipta adalah, karena penulis dan pengguna karya ilmiah seringkali adalah individu yang sama. Akibatnya, pelaksanaan hak cipta memberi dampak ‘pedang bermata dua’ pada mereka, bukan hanya dalam kasus pemanfaatan karya orang lain, tetapi juga karya sendiri; baik pada waktu hak itu dipegang sendiri dan terlebih lagi bila diserahkan ke penerbit komersial.
Penyebaran pengetahuan ilmiah mulai dari pencipta sampai ke pengguna melibatkan banyak pihak, yaitu pencipta (penulis), penerbit (termasuk secondary publisher), penyalur (toko buku, perpustakaan, dsb.), dan pengguna (lihat diagram berikut ini).

PENULIS MENYERAHKAN HAK CIPTA KE PENERBIT

Di Indonesia, penulis artikel jurnal biasanya menyerahkan hak ciptanya kepada penerbit, secara gratis atau hampir gratis (penulis hanya mendapat honor sekadarnya). Di negara maju, terutama untuk jurnal ilmiah bereputasi internasional, penulis bahkan harus membayar tidak sedikit (dalam rupiah) untuk setiap artikel yang dimuat di jurnal tersebut, meskipun hak ciptanya diserahkan ke penerbit. Dalam hal buku, biasanya penulis mendapat royalti dari penyerahan hak ciptanya.
Ada beberapa kepentingan yang melatarbelakangi praktek tersebut di atas, sehingga penyerahan hak cipta ke penerbit bisa berlangsung sampai sekarang meskipun si penulis tidak mendapatkan keuntungan materi.
Kepentingan penulis. Salah satu hal yang menyebabkan penulis dengan mudah menyerahkan hak ciptanya kepada penerbit adalah karena mereka (dosen, peneliti, mahasiswa, dsb.) umumnya lebih mementingkan penyebaran karyanya seluas-luasnya, daripada manfaat ekonominya. Di samping itu, ada keharusan untuk menerbitkan buku dengan ISBN atau di jurnal yang mempunyai reputasi (scholarly journal, terutama yang peer-reviewed) agar persyaratan kenaikan pangkat (sebagai peneliti atau dosen) yang diberlakukan oleh organisasi induknya dapat dipenuhi. Penerbitan ini juga untuk meningkatkan reputasi mereka.
Kepentingan penerbit. Penerbit mempunyai kepentingan untuk menyebarkan suatu karya sambil mendapatkan keuntungan materi dari kegiatan tersebut. Untuk itu, penerbit berusaha untuk meningkatkan kualitas isi dan tampilan suatu tulisan, dan mendistribusikannya dalam jumlah besar dan cakupan geografis yang luas. Penerbit meningkatkan kualitas suatu karya dengan cara menyediakan peer reviewer, editor, perancang layout dan sampul depan, dsb. Dengan demikian, mereka mempunyai modal (power) untuk menolak atau menerima suatu karya untuk diterbitkan. Pertimbangan penerbit bisa dari segi komersial dan/atau mutu. Penerbit bahkan bisa meminta penulis yang sudah dikenal untuk menulis topik yang menurut mereka mempunyai nilai jual yang tinggi.
Kepentingan pengguna. Penyerahan hak cipta ke penerbit memudahkan pengguna pada saat ingin memperbanyak, mendistribusi, menterjemahkan, membuat adaptasi, membuat pertunjukan, atau memperagakan (display) suatu karya cipta. Mereka tidak harus susahpayah menghubungi penulisnya yang biasanya alamatnya lebih sulit diperoleh dibandingkan dengan alamat penerbit.
Melihat uraian di atas, nampaknya tidak ada permasalahan yang ditimbulkan oleh penyerahan hak cipta kepada penerbit. Apakah demikian? Ternyata tidak demikian kenyataannya, terutama kalau hal ini dilihat dari akumulasi pengetahuan yang sudah berlangsung begitu lama, dan melibatkan penulis yang pernah, sedang dan akan hidup di muka bumi ini.
Penyerahan hak cipta oleh penulis kepada penerbit sudah berlangsung berabad-abad, yaitu seusia penerbit tertua di dunia. Elsevier Science misalnya sudah berada dalam bisnis penerbitan lebih dari satu abad, dan jurnal-jurnal pertama diterbitkan tahun 1665 oleh Academie Francaise di Paris dan Royal Society of London for the Promotion of Natural Knowledge3. Untuk semua karya tersebut, bukan lagi penulisnya, tetapi penerbit yang mempunyai hak eksklusif untuk memperbanyak, mengalih-mediakan, mendistribusikan, menterjemahkan, membuat adaptasi, membuat pertunjukan, dan memperagakan (display). Penerbit bahkan berhak juga untuk memindah-tangankan hak tersebut ke penerbit lain (secondary publisher).
Itulah sebabnya penerbit bisa mencantumkan pernyataan berikut ini dalam terbitannya: ”All rights reserved. No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system, or transmitted in any form or by any means electronic, mechanical, photocopying, recording or otherwise without the prior permission of the publisher.” Kutipan ini diambil dari publikasi Ashgate Publishing Limited (Inggris) tahun 2003. Akibatnya, penulis suatu karya harus meminta ijin bahkan membayar pada penerbit untuk menggunakan dan menyebarluaskan karyanya sendiri. Hal ini nampak dari kutipan berikut ini5: “A professor of English recently expressed dismay at having to ‘unpublish’ two of his articles so that he could make them available to his students in a packet of readings without having to pay royalties to his publisher.” (Bennett et al., seperti dikutip oleh Nentwich, 2001, h. 3)
Untungnya Indonesia, seperti juga Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya, menerapkan doktrin atau asas fair use. Asas ini memungkinkan pemanfaatan suatu karya tanpa seijin pemilik hak cipta sepanjang untuk kegiatan pendidikan dan penelitian, dan bukan untuk tujuan komersial.
Apakah dengan berlakunya asas fair use maka penyerahan hak cipta kepada penerbit
tidak menghambat penyebaran dan pemanfaatan suatu karya? Ternyata, walaupun demikian, hak cipta masih tetap menimbulkan masalah.
Para penulis karya ilmiah yang pernah dan sedang hidup saat ini sudah menghasilkan jutaan karya ilmiah yang telah diserahkan hak ciptanya kepada penerbit. Mereka ini umumnya bekerja di lembaga-lembaga pendidikan dan penelitian di seluruh dunia. Untuk memenuhi kebutuhan informasi mereka, maka lembaga-lembaga penelitian dan pendidikan, secara konsortium dan kebanyakan sendiri-sendiri, harus mendapatkan kembali karya-karya tersebut dengan membayar mahal. Karya-karya tersebut umumnya dibeli atau dilanggan melalui perpustakaan yang anggarannya terbatas menurut ukuran negara maju apalagi negara sedang berkembang. Biaya yang mahal terutama sekali dirasakan dalam hal berlangganan database dokumen elektronik.
               Di samping biaya lisensi yang tidak murah yang harus dibayar setiap tahun, kendala yang harus dihadapi perpustakaan adalah tertutupnya akses ke database tersebut pada saat langganan dihentikan. Ini berarti, meskipun pernah mengeluarkan milyaran uang untuk database tersebut, perpustakaan tidak memiliki copy apapun dari jurnal-jurnal dalam database tersebut. Hal ini berbeda dengan pembelian atau langganan dokumen tercetak. Penyerahan hak cipta kepada penerbit juga mempersulit si penulis sendiri untuk mengalih-mediakan (ke dalam dokumen elektronik, cd-rom, dsb.) dan menyebar-luaskan karyanya (misalnya: memfotokopi, menyediakan links). Tanpa seijin penerbit, penulis tidak bisa mempublikasikan karyanya bahkan di situs (pribadi atau lembaga) sendiri. Penulis juga tidak bisa mempublikasikan karya tersebut di jurnal lain yang mempunyai segmen pembaca yang berbeda. Hal ini tentu saja menghambat penyebaran informasi. Padahal, menurut penelitian, akses yang dibuka seluas-luasnya dan semudah-mudahnya ke suatu dokumen sangat meningkatkan pemanfaatan dokumen tersebut (lihat datanya di bagian kedua tulisan ini). Bagaimana kalau penulis tidak menyerahkan hak ciptanya ke penerbit?

HAK CIPTA TETAP DIPEGANG OLEH PENULIS

Seandainya hak cipta dipegang dan dikelola oleh penulis, maka inilah yang akan terjadi.
Setiap kali ada orang yang ingin memperbanyak, mendistribusikan, dan mengubah (mengalih-media, menterjemahkan, menyadur, dsb.) suatu karya, dia harus menghubungi penulisnya. Syukur apabila penulis tersebut mudah dijangkau melalui e-mail atau telepon. Mengurus perijinan ini pastilah sedikit atau banyak, akan memakan waktu, apalagi kalau memerlukan paper works. Kalau tidak berhasil menghubungi si penulis, maka pengguna akan (harus) mengurungkan niatnya untuk memperbanyak, mendistribusikan, dan/atau mengubah karya tersebut. Ini tentu saja mengurangi penyebaran dan pemanfaatan karya yang bersangkutan. Padahal bukankah kepuasan penulis adalah bila karyanya dapat tersebar seluas-luasnya dan dimanfaatkan oleh banyak orang dalam waktu yang sesingkat mungkin (dikutip oleh banyak orang bahkan langsung sesudah dipublikasi)?
Di samping itu, dalam hal penulis yang memegang dan mengelola hak cipta, penulis akan
direpotkan dengan permintaan ijin atau pengelolaan lisensi, terutama bila dia begitu produktif dan banyak pihak yang ingin menyebarluaskan dan mengubah karyanya. Hal ini sedikit atau banyak akan memperlambat urusan perijinan. Dari segi penerbit, apakah pemberian lisensi kepada penerbit tidak akan meningkatkan harga beli atau langganan karya ilmiah? Bisa ya bisa tidak tergantung seberapa banyak harga yang harus dibayar oleh penerbit kepada setiap penulis untuk setiap artikel. Bayangkan kalau agen database elektronik yang memuat ratusan jurnal dan ratusan ribu artikel harus membayar lisensi untuk setiap artikel yang terkandung di dalam databasenya.

Nama  : Febrina Yunita
Kelas  : 2EB08
NPM   : 27211813



Link-link Gunadarma
Gunadarma University
BAAK Gunadarma
Student Site Gunadarma
Perpustakaan Online
SAP Gunadarma

POSTING JURNAL HAKI 3


REVIEW JURNAL "HAK CIPTA DAN PENYEBARAN PENGETAHUAN"

Diao Ai Lien
Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta

ABSTRAKSI

Hak cipta memainkan peranan penting dalam komunikasi ilmiah. Hal ini adalah karena karakteristik dari hak cipta tersebut. Hak cipta bekerja di setiap tahap siklus pengetahuan. Hak cipta, langsumg maupun tidak langsung, mempengaruhi penciptaan pengetahuan, perekaman dan pengorganisasian, publikasi, akses, penggunaan, dan penciptaan kembali pengetahuan. Hak cipta juga terlalu memberikan penghargaan pada penulis ilmiah, yang kadar keorisinilan karyanya, umumnya hanya sekian persen (bukankah suatu karya ilmiah dibangun di atas penemuan terdahulu dan karenanya mengandung karya orang lain juga). Di samping itu, hak cipta juga memberikan dampak ’pedang bermata dua’ pada penulis dan pengguna karya ilmiah yang orangnya seringkali sama. Artikel ini menguraikan dampak negatif hak cipta pada komunikasi ilmiah, dan mengusulkan empat skenario untuk pengelolaan hak cipta yang lebih efektif.

I.            PENDAHULUAN

Setiap orang yang menciptakan karya tulis (karya ilmiah, program komputer, kesusasteraan, dsb.) dan karya artistik (drama, musik, film, dsb.) secara otomatis mendapatkan hak cipta. Hak cipta pertama kali mendapat perlindungan di tingkat internasional pada tanggal 9 September 1886 melalui Berne Convention for The Protection of Literary and Artistic Works.
Hak cipta terdiri dari hak ekonomi dan hak moral. Secara umum (terlepas dari isi perundang-undangan suatu negara), hak ekonomi adalah hak eksklusif pencipta untuk memperoleh manfaat ekonomi dari karya ciptanya dan produk-produk terkait. Hak ekonomi meliputi hak untuk memperbanyak, mendistribusi, menterjemahkan, membuat adaptasi, membuat pertunjukan, dan memperagakan (display) suatu karya cipta. Hak moral terdiri dari paternity right (hak untuk diidentifikasi sebagai pengarang atau direktur suatu karya), integrity right (hak untuk menolak perubahan atas suatu karya), dan privacy right (hak pemanfaatan foto dan film)1. Hak ekonomi dapat dipindahtangankan ke pihak lain yang dapat juga memindahkannya ke pihak yang lain lagi. Hak ekonomi ada masa berlakunya, yaitu sampai sekian tahun (misalnya 50 tahun) sesudah penciptanya meninggal dunia. Hak moral tidak dapat dipisahkan dari pengarangnya dan ahli warisnya, dan hal ini berlaku selamanya.
Pada mulanya hak cipta, terutama hak ekonominya, diadakan untuk mendorong terjadinya penciptaan. Keuntungan ekonomi yang diperoleh diharapkan dapat membantu pencipta untuk terus berkarya. Namun dalam perjalanannya, hak cipta, terutama atas karya ilmiah, ternyata menimbulkan dampak yang negatif terhadap penyebaran dan perkembangan pengetahuan. Padahal dalam era ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy), kemampuan untuk menciptakan dan menyebarkan pengetahuan ilmiah merupakan faktor penentu fundamental kemakmuran suatu bangsa2. Penciptaan pengetahuan itu sendiri juga sangat dipengaruhi oleh penyebaran pengetahuan (seberapa cepat pengetahuan baru tersebar dan seberapa mudah diaksesnya).
Tulisan ini membahas dampak negatif dari hak cipta (terutama hak ekonominya) terhadap penyebaran pengetahuan, dan cara mengatasinya. Karena penyebaran dan pengembangan pengetahuan terjadi dan dilakukan bersama-sama oleh semua ilmuwan yang pernah, sedang, dan akan hidup di dunia, maka pembahasan dilakukan secara umum, dan tidak dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan suatu negara. Pembahasan juga akan dilakukan dalam konteks penyebaran pengetahuan ilmiah yang juga melibatkan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi.

Nama : Febrina Yunita
Kelas : 2EBO8
NPM  : 27211813



Link-link Gunadarma
Gunadarma University
BAAK Gunadarma
Student Site Gunadarma 
Perpustakaan Online 
SAP Gunadarma

Rabu, 01 Mei 2013

POSTING JURNAH HAKI 2



REVIEW JURNAL "Peranan Trips (Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights) terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual di Bidang Teknologi Informasi di INDONESIA"

Siti Munawaroh
Fakultas Teknologi Informasi, Universitas Stikubank Semarang

ISI TRIPs
TRIPs berisi:
Bagian I : Ketentuan Umum dan Prinsip Dasar
Bagian II : Standar Ketersediaan, Lingkup dan Penggunaan hak Milik Intelektual
1.     Hak Cipta dan Hak-hak yang Terkait
2.     Merek Dagang
3.     Indikasi Geografis
4.     Disain Industri
5.     Paten
6.     Disain Tata Letak (Topografi) Sirkuit Terpadu
7.     Perlindungan Informasi yang Dirahasiakan
8.     Perlindungan Praktek Anti Persaingan
Dalam Lisensi Dikontrak.
Bagian III : Penegakan Hak Milik Intelektual
1.     Kewajiban Umum
2.     Prosedur dan Penyelesaian Perdata serta Administrasif
3.     Tindakan Sementara
4.     Persyaratan khusus yang Berkaitan Dengan Tindakan yang Sifatnya Tumpang Tindih
5.     Prosedure Pidana
Bagian IV : Pemerolehan dan Pemeliharaan Hak Milik Intelektual dan Prosedur Antar Para Pihak.
Bagian V : Pencegahan dan Penyelesaian Perselisihan
Bagian VI : Pengaturan Peralihan
Bagian VII : Pengaturan Kelembagaan :
Ketentuan Penutup.
Dari ketentuan yang termasuk dalam lingkup hak milik intelektual pada bagian II di dalam persetujuan TRIPs ternyata lebih luas pengaturannya dibanding peraturan perundangundangan nasional maupun konvensi-konvensi internasional sebelumnya.
Hak cipta dan hak-hak yang terkait lainnya yang akan dijelaskan disini adalah hak cipta seperti hak rekaman video, rekaman film, rekaman lagu, atau bahkan mungkin program komputer. Hak cipta termasuk bagian yang sangat penting pada HAKI karena pada hak cipta ini sangat erat kaitannya dengan perkembangan teknologi informasi. Perkembangan teknologi yanga semakin cepat ini juga merupakan dampak dari perdagangan yang semakin bebas.
Kita lihat banyak beredar rekaman baik itu rekaman film, video atau lagu, bahkan mungkin program komputer dengan harga murah dan mudah didapatkan. Ini merupakan beberapa contoh yang dapat kita jumpai, sebenarnya masih banyak kalau kita lihat hak cipta yang butuh sekali perlindungan khususnya oleh pemerintah.
Hak paten juga merupakan bagian yang tidak kalah pentingnya dengan hak cipta dan hak-hak yang lain. Hak paten juga bagian dari HAKI yang sangat perlu perlindungan, khususnya di Indonesia yang kaya akan seni budayanya. Contoh dari hak paten yang sering kita jumpai di Indonesia misalnya seorang perajin ukir kayu tradisonal Bali harus membayar royalti kapada orang Amerika yang mematenkannya. Padahal, jenis ukiran itu
merupakan warisan budaya masyarakat lokal.
Kalau kita lihat sebenarnya hak paten itu tidak hanya terjadi di Indonesia saja, negaranegara lain juga sering mengalami hal serupa dimana secara tidak sah warisan budaya kelompok masyarakat tertentu diakui miliknya. Peranan pemerintah sendiri sebenarnya juga sangat penting dalam menangani sertifikasi paten pada temuan-temuan teknologi yang sebenarnya dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional.
Disamping hak cipta, hak paten yang tidak kalah pentingnya adalah perlindungan terhadap informasi yang dirahasiakan. Sebenarnya masalah perlindungan terhadap informasi yang dirahasiakan merupakan dampak dari kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang sebelumnya pernah menendatangani keputusa WTO. Indonesia masuk dalam jebakan dengan menandatangani keputusan WTO itu, dimana WTO itu digagas oleh negara-negara yang memang maju dalam bidang ekonominya. Sedangkan pemerintah sendiri juga berada
diposisi yang sulit karena demi tidak terungkapnya keburukan perburuhan di Indonesia, penahanan pemimpin serikat buruh, juga penganiyaan serikat buruh yang menyebabkan pemerintah saat itu mau bertanda tangan, dimana akibatnya adalah negara-negara yang tergabung dalam WTO itu harus sepakat dengan ”pasar bebas” untuk produk informasi dan teknologi.
Akibat dari kebijakan yang sudah ditanda tangani itu dapat kita lihat belakangan ini banya industri teknologi informasi dalam negeri ”perangkat lunak maupun perangkat kerasnya” yang tergilas habis korporasi global, namun juga peluang mengalirnya data-data vital dan rahasia negeri ini, baik data pollitik, militer, ekonomibisnis maupun kultural. Dengan dikuasainya database negeri ini, soal penyubordinasian atau penaklukan tinggal masalah waktu.

PERANAN TRIPs TERHADAP HAKI DI INDONESIA

Indonesia sebagai salah satu Negara berkembang mempunyai kepentingan spesifik pada bidang teknologi informasi untuk berperan serta secara aktif dalam perundingan Putaran Uruguay untuk mengakomodasi TRIPs dalam perangkat hukum nasional di bidang HAKI. Sedangkan teknologi informasi yang akan dilindungi disini kaitannya dengan hak cipta dan hak-hak yang terkait lainnya, hak paten dan perlindungan terhadap informasi yang dirahasiakan.
Dampak dari pasar bebas yang sekarang ini sedang berlangsung adalah timbulnya permintaan/demand yang tinggi terhadap teknologi informasi, disini kalau kita lihat sistem informasi yang dibutuhkan oleh negara-negara itu juga semakin baik. Dengan adanya permintaan yang tinggi terhadap teknologi informasi, maka teknologi informasipun berlomba-lomba menyediakan/supply yang banyak.
Jika negara-negara itu membutuhkan
Sistem informasi yang baik maka pasti juga membutuhkan teknologi informasi yang baik juga, dan teknologi komputer merupakan salah satu bagian dari teknologi informasi. Sedangkan perkembangan teknologi informasi sekarang ini semakin pesat, apalagi perkembangan teknologi komputer. Maka tidak menutup kemungkinan terjadi pelanggaran-palanggaran pada bidang HAKI.
Dibawah ini gambar hubungan antara Sistem Informasi, Teknologi Informasi dan Teknologi Komputer. Beberapa ketentuan TRIPs yang perlu mengisi kekosongan hukum perangkat hukum nasional di bidang teknologi informasi dalam kaitannya dengan HAKI menyangkut ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

1.     Rental Rights bagi pemegang hak cipta rekaman video, lagu/film dan komputer program.
2.     Perlindungan bagi performers, producer of phonograms (sound recording) dan broadcasts.
3.     Perlindungan atas Lay-out design dari pada integrated circuits.
4.     Perlindungan terhadap undisclosed information.
Beberapa ketentuan perangkat hukum nasional dibidang teknologi informasi yang berkaitan dengan HAKI yang perlu dirubah untuk mengakomodasikan ketentuan TRIPs dalam sistem perundang-undangan nasional yang menyangkut pengaturan tentang :
1.     Perlindungan hak cipta atas computer program yang lamanya harus tidak kurang dari 50 tahun, sementara dalam undangundang hak cipta hanya 25 tahun.
2.     Isi hak yang diberikan dalam paten dan merek tidak sekedar terbatas pada hak untuk memakai, menyewakan, menjual atau memberi hak orang lain guna memakai (atau melarang orag lain memakai tanpa persetujuannya), tetapi juga meliputi hak untuk melarang impor produk yang dilindungi paten atau memakai merek yang bersangkutan oleh orang lain yang tidak berhak.

Tindak lanjut ketentuan TRIPs dalam bidang teknologi informasi dalam peraturan perundangundangan Nasional di bidang HAKI. Beberapa ketentuan pokok yang dari persetujuan TRIPs yang memerlukan perhatian dan tindak lanjut khususnya dalam bidang teknologi informasi adalah sebagai berikut :
1.     Bidang hak cipta dan hak-hak terkait lainnya.
a.     Mengantisipasi ketentuan TRIPs tentang perlindungan program komputer sebagai literary work harus berlangsung selama 50 tahun, perlu diperhatikan bahwa: Program komputer sudah dicakup dalam Undang-undang Hak Cipta, tetapi perlindungannya hanya berlaku selama 25 tahun. Oleh sebab itu perlu ditindak lanjuti ketentuan Undang-undang Hak Cipta Nomor 7 tahun 1987 perlu disesuaikan.
b.     Mengantisipasi ketentuan TRIPs tentang Hak Penyewa/Rental Right bahwa untuk karya sinematogrsfi, ditentukan adanya hak penyewa yang diberikan kepada pencipta atas kegiatan penyewaan karya-karya tersebut, perlu diperhatikan tentang : Hak Cipta yang belum mengatur tentang masalah hak ini, dimana terhadap penyewaan vidio kaset film dan program komputer pemilik Hak cipta atas karya-karyanya tersebut berhak atas bagian penghasilan yang diperoleh dari usaha penyewaan tadi. Oleh sebab itu perlu ditindak lanjuti pengaturan dan penyempurnaan Undang-undang Hak cipta.
2.     Bidang Paten
Mengantisipasi ketentuan TRIPs terhadap objek paten yaitu :
·        Perlindungan diberikan untuk semua bentuk teknologi, termasuk kepentingan kemanusiaan dan kesehatan manusia seperti terhadap teknologi untuk pengobatan, varietas hewan, tanaman, dan bioteknologi
·        Paten memberikan hak eksklusif baik tehadap paten produk maupun paten proses yang menjangkau pula larangan untuk melakukan impor tanpa ijin pemegang paten.
3.     Bidang Desain Lay-Out (Topografi) Mengantisipasi ketentuan TRIPs tentang Desaign Lay-Out tidak dianggap sebagai pelanggaran apabila seseorang memang tidak mengetahui atau tidak ada/cukup alasan untuk mengetahui bahwa sewaktu menerima lay-out desain, ternyata terbawa pula lay-out desain bajakan.
4.     Bidang Undisclosed Information Mengantisipasi ketentuan TRIPs tentang negara anggota wajib menjaga informasi yang dirahasiakan pemiliknya dan data yang diserahkan kepada pemerintah sebagai persyaratan pendaftaran sesuatu produk dan data tersebut harus merupakan rahasia, memiliki nilai komersial (karena kerahasiaannya), diperlukan dan dijaga sebagai informasi rahasia. Dalam upaya mencapai keberhasilan pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut di atas, dijabarkan serangkaian langkahlangkah intern maupun ekstern untuk mendukung keberadaan instansi/unit kerja yang menangani HAKI di bidang teknologi informasi dan mendukung mekanisme kerja dan kebijaksanaan teknis operasional. Langkah-langkah tersebut meliputi :
1.     Intern
a.     Melaksanakan program komputerisasi.
b.     Membangun pusat dokumentasi dan informasi di bidang HAKI, khususnya menyangkut TRIPs.
c.      Menambah pengadaan prasarana, sarana, personalia.
d.     Mengembangkan / meningkatkan kemampuan profesionalisme penegak hukum, praktisi hukum melalui pendidikan dan pelatihan di dalam maupun di luar negeri.
e.     Menyempurnakan prosedur kerja.
2.     Ekstern
a.     Membangun sistem jaringan dokumentasi dan informasi di bidang TRIPs untuk konsumsi dunia usaha.

KESIMPULAN

Dari uraian yang telah dikemukakan pada babbab terdahulu dapat disimpulkan :
1.     Lahirnya TRIPs bertujuan untuk melindungi dan menegakkan hukum hak milik intelektual guna mendorong timbulnya inovasi, pengalihan, serta penyebaran teknologi, diperolehnya manfaat bersama pembuat dan pemakaian pengetahuan teknologi, dengan cara yang menciptakan kesejahteraan sosial dan ekonomi serta berkeseimbangan antara hak dan kewajiban. HAKI diatur di dalam TRIPs yang isinya meliputi ketentuan umum dan prinsip dasar, standar ketersediaan, lingkup dan penggunaan HAKI, penegakan HAKI, perolehan dan pemeliharaan HAKI dan prosedur antar pihak, pencegahan dan penyelesaian, pengaturan peralihan dan pengaturan kelembagaan serta ketentuan penutup.
2.     Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani perjanjian putaran Uruguay berupaya mengakomodasikan TRIPs dalam perangkat hukum nasional di bidang HAKI sesuai dengan kepentingan spesifiknya yaitu pembangunan nasional dengan meningkatkan laju ekspor non migas.
3.     Hubungan yang erat antara Sistem Informasi, Teknologi Informasi, Teknologi Komputer sangat mempengaruhi perkembangan HAKI di bidang teknologi informasi di Indonesia.


Nama : FEBRINA YUNITA
Kelas : 2EB08
NPM : 27211813



Link-link Gunadarma
Gunadarma University
BAAK Gunadarma
Student Site Gunadarma
Perpustakaan Online
SAP Gunadarma