REVIE JURNAL "HAK CIPTA DAN PENYEBARAN PENGETAHUAN"
Diao Ai Lien
Dosen Fakultas Hukum
Unika Atma Jaya Jakarta
B.
PENERAPAN HAK CIPTA DI ERA KEMAJUAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI
DAN INFORMASI
Di era kemajuan teknologi komunikasi dan
informasi ini, publikasi, alih media, dan penyebaran informasi bisa dilakukan
dengan mudah oleh siapa saja dan ke mana saja. Selesai menulis, meskipun baru
berupa draft pertama, penulis dapat segera menaruhnya di suatu situs,
webblog, ataupun milis. Melalui sarana ini, penulis bisa meminta masukan dari
pembaca yang berasal dari pelbagai bangsa dan disiplin ilmu. Penulis dengan
mudah bisa merevisi publikasinya, kapan saja (tidak harus menunggu sampai karya
tersebut beredar selama 1 tahun misalnya, atau sesudah cetakan pertamanya habis
terjual). Di samping itu, penulis dan setiap orang yang mengetahuinya, dapat
menyebarkan alamat dokumen tersebut melalui milis atau email pribadi. Dokumen
tersebut pun dengan mudah dapat dimanfaatkan oleh siapa saja.
Praktek tersebut di atas, yang disebut dengan open
access, sudah merupakan perkara biasa di dunia maya. Hal ini sudah terbukti
mempercepat penyebaran dan pemanfaatan karya ilmiah. Menurut Sahu, Gogtay,
& Bavdekar (2005), open access memperbaiki tingkat kutipan (citation
rates) di bidang fisika, matematika, dan astronomi6.
Penelitian mereka terhadap sebuah jurnal multi-disiplin yang mengadopsi open
access (OA) setelah 10 tahun terbit (setelah tahun 2000), menemukan
antara lain, bahwa tidak satu pun artikel yang dipublikasikan sebelum OA
dikutip pada tahun terbit. Sebaliknya, artikel yang dipublikasikan setelah OA,
yaitu tahun 2002, 2003, dan 2004, dikutip 3, 7, dan 22 kali berturut-turut pada
tahun terbit7.
Dengan bantuan teknologi, sepanjang tidak
dibatasi oleh hak cipta (terutama hak ekonomi), percepatan penyebaran dan
pemanfaatan pengetahuan bisa dengan mudah berlangsung tidak hanya di dalam
disiplin ilmu yang sama, tetapi juga lintas disiplin. Kolaborasi ilmiah bisa
berlangsung dengan mudah secara lintas batas geografi, waktu, disiplin,
hirarkhi sosial, dan budaya. Kemudahan ini sangat mempercepat perkembangan ilmu
pengetahuan.
Pertanyaannya sekarang adalah: apakah
kemudahan yang diberikan oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informasi ini
harus dihambat oleh hak cipta baik yang dipegang oleh penulis maupun penerbit?
Apalagi penerapan hak cipta bisa berdampak seperti ’pedang bermata dua’ bagi
penulis dan pengguna, bukan hanya dalam kasus pemanfaatan karya orang lain,
tetapi juga karya sendiri.
Sebetulnya, pertanyaan yang mendasar adalah
apakah masih dapat dibenarkan pemberlakuan hak cipta yang jangka waktunya
begitu lama kalau memang perkembangan ilmu pengetahuan menjadi kepedulian utama
semua pihak? Apalagi sampai memberlakukan harga yang begitu tinggi untuk
lisensi setiap tahun per pengguna untuk dokumen elektronik yang tidak dapat
diakses lagi pada saat sudah tidak dilanggan.
Sebetulnya, dasar pemberlakuan hak cipta
adalah bahwa penulis perlu mendapat insentif untuk keorisinilan karyanya. Namun
pertanyaannya adalah: siapakah sesungguhnya penulis suatu karya ilmiah?
Pengembangan ilmu pengetahuan merupakan usaha
kolektif yang melibatkan ilmuwan yang hidup sejak dahulu sampai yang akan
datang, karena pengembangan pengetahuan= senantiasa (harus) didasarkan pada
penemuan-penemuan terdahulu. Dalam kenyataannya pun, suatu karya ilmiah jarang
merupakan karya murni (utuh) penulisnya. Di dalamnya ada banyak pemikiran orang
lain. Mungkin hanya sekian persen saja dari suatu karya merupakan hasil dari
penulisnya (kecuali hasil penelitian yang berdasarkan eksperimen di laboratorium).
Hasil penelitian tentang gaya hidup anak jalanan, misalnya, apalagi dengan
menggunakan metode kualitatif, sebenarnya merupakan hasil bersama antara peneliti,
anak jalanan (subyek penelitian), informan lainnya, dan penulis yang karyanya digunakan
oleh si peneliti dalam penelitiannya. Dalam kenyataannya juga, bahkan pengguna
turut memberikan sumbangan pemikiran dalam penerbitan suatu karya (dengan cara
memberikan opini secara lisan maupun tertulis, melalui Internet atau dalam
seminar, dsb.). Menurut Durham8, ”Naive
acceptance of authorship as a predominantly individual and creative act may
foster authorial rights that are too broad or too powerful for the good of
society.”
Dengan demikian, tidak adil kalau atas suatu
karya ilmiah, hak cipta (hak ekonomi) hanya diberikan pada penulisnya yang
terdiri dari satu atau beberapa orang yang tercantum di bawah judul suatu
karya. Apalagi kalau hak itu kemudian diberikan kepada penerbit yang justru
(hampir) tidak turut dalam penciptaan namun yang akan mendapat keuntungan
ekonomi terbesar.
Karena itu, sudah waktunya untuk memikirkan
beberapa skenario lain untuk pengelolaan hak cipta, yaitu:
1.
hak cipta direduksi menjadi hanya hak
moral
2.
hak cipta diberlakukan secara utuh
tetapi tidak eklusif
3.
hak cipta diberlakukan secara utuh dan
eksklusif tetapi dalam jangka waktu yang terbatas
4.
pilihan 1-3 diserahkan pada penulis
atau kesepakatan antara penulis dan penerbit.
1.
Hak cipta direduksi menjadi hak moral
Yang dimaksud
dengan pernyataan tersebut di atas adalah pemberlakuan hak cipta hanya sebatas
hak moralnya. Dengan demikian siapa pun bisa mereproduksi, mengalihmediakan,
dan menyebarkan suatu karya ilmiah, sepanjang bukan untuk tujuan komersial.
Dengan demikian, jalur penyebaran informasi bisa lebih dipersingkat dengan memindahkan
kendali penyebaran karya ilmiah dari penerbit ke penulis dan masyarakat, dan
mengurangi proses publikasi yang lama dan biaya yang mahal. Monopoli hak cipta pun
terhindari.
Hak cipta jenis
ini sudah diberlakukan oleh gerakan Open Access (OA). Definisi OA
menurut Budapest Open Access Initiative dan Public Library of Science adalah9:
“the free availability of literature on the public Internet, permitting any
users to read, download, copy, distribute, print, search, or link to the
full texts of these articles, crawl them for indexing, pass them as data
to software, or use them for any other lawful purpose, without
financial, legal, or technical barriers other than those inseparable
from gaining access to the internet itself.” (Birdsall, 2005) Di dalam
konsep OA tersebut terkandung copyleft, yaitu sekumpulan lisensi yang diberikan
pada setiap orang yang memiliki kopi suatu karya ilmiah untuk menjamin agar orang
tersebut dapat menjalankan hak ekonomi atas karya tersebut (menggandakan, menyebarluaskan,
memodifikasi) dengan syarat karya tersebut dan turunannya disebarkan dengan
lisensi yang sama10. Dalam skenario
ini, OA dan copyleft diberlakukan tidak hanya untuk dokumen elektronik,
tetapi juga tercetak. Dengan cara demikian, hak cipta tidak hanya menguntungkan
segelintir orang (terutama penerbit yang justru tidak turut dalam penciptaan)
dan mengabaikan kontribusi banyak orang terhadap penciptaan suatu karya. Untuk
mengurangi ketergantungan pada penerbit, peraturan mengenai penilaian dosen dan
peneliti juga harus diubah, terutama dalam hal keharusan untuk menerbitkan
dalam jurnal terakreditisasi dan/atau peer-reviewed. Kegiatan peer-review
itu sendiri sebetulnya sudah bisa dilakukan di lembaga tempat dosen atau
peneliti bekerja ataupun secara informal melalui rekan-rekan di milis. Dalam
hal penerbit masih diperlukan untuk penyebaran dan menjamin dokumentasi, pemerintah
perlu membuat peraturan agar penerbitan dikelola oleh lembaga not-for profit
yang tidak diperbolehkan mengambil keuntungan yang tidak wajar dari usaha penerbitannya
sehingga menghambat penyebaran pengetahuan ilmiah. Dalam menentukan harga jual,
penerbit harus mendasarkan penghitungannya lebih pada biaya daripada
keuntungan. Penerbit harus transparan dalam hal melaporkan pengelolaan biaya produksi,
serta menentukan harga jual yang tidak melebihi batas yang ditentukan pemerintah.
2.
Hak cipta diberlakukan secara utuh
tetapi tidak eklusif
Dalam hal
ini, hak cipta tetap mengandung hak ekonomi dan hak moral. Namun siapapun yang
memegangnya (penulis maupun penerbit), hak cipta (terutama hak ekonominya)
tersebut tidak berlaku eksklusif dan dapat digunakan oleh siapa saja yang mempunyai
dokumen yang bersangkutan, sepanjang tidak untuk tujuan komersial. Dengan
demikian, meskipun hak cipta sudah diserahkan ke penerbit, penulis bisa dengan
leluasa memberikan hak ciptanya ke pihak lain lagi dengan atau tanpa royalti. Penulis
juga bisa dengan bebas mereproduksi, mengalihmediakan, dan mendistribusikan karyanya,
di mana saja dan kapan saja. Penulis dapat menerbitkan karya yang sama di lebih
dari satu media sepanjang media-media tersebut tidak berkeberatan mengenai hal ini,
dan situasi ini dinyatakan dengan jelas di dalam publikasinya. Konsumen juga
bisa memilih antara mendapatkan akses suatu karya melalui penerbit atau penulis
atau melalui cara lain (misalnya dengan memfotokopi dari perpustakaan atau
rekan sekerja). Dengan demikian tidak akan ada lagi monopoli hak cipta.
3.
Hak cipta diberlakukan secara utuh dan
eksklusif tetapi dalam jangka waktu yang terbatas
Yang
dimaksudkan dengan hal ini adalah, hak cipta tetap mengandung hak ekonomi dan hak
moral, dan berlaku eksklusif bagi pemegangnya, namun jangka waktu berlaku hak ekonominya
hanya 1-2 tahun (tergantung sejauh mana perkembangan pengetahuan akan ’dihambat’
demi pengumpulan keuntungan ekonomi). Sesudah jangka waktu tersebut berlalu,
maka hak cipta utuh namun tidak eksklusif yang berlaku (lihat no. 2). Dengan perkataan
lain, monopoli hak cipta hanya terjadi dalam waktu yang sangat terbatas.
4.
Pilihan diserahkan pada pemilik hak
cipta
Negara atau
komunitas yang memilih pengaturan hak cipta jenis ini, membiarkan para pelaku
komunikasi ilmiah memilih sendiri di antara 3 pilihan tersebut di atas. Tugas pemerintah
adalah menyediakan aturan permainannya. Pilihan apa pun yang diambil harus
dengan tujuan untuk meningkatkan kecepatan perkembangan dan mutu ilmu pengetahuan
yang bersangkutan.
III.
RANGKUMAN
Hak
cipta berpotensi menimbulkan masalah dalam pengembangan pengetahuan karena nature
dari hak cipta itu sendiri. Potensi tersebut semakin besar karena dalam
konteks pengetahuan ilmiah, produsen dan konsumen pengetahuan adalah orang yang
sama. Di samping itu, karena tidak ada karya ilmiah yang tingkat
keorisinilannya 100%, maka monopoli hak cipta oleh penulis patut dipertanyakan
kelayakannya.
Untuk mengatasi atau meminimalkan dampak
negatif hak cipta terhadap penyebaran dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah; suatu
komunitas, negara, atau masyarakat internasional perlu memikirkan beberapa
skenario penerapan hak cipta. Skenario apa pun yang dipilih, harus didasarkan
pada pertimbangan ‘untuk kemajuan ilmu pengetahuan’, dilihat dari sisi pengarang
yang hidup hari ini maupun yang akan datang, ”... ensuring the ’progress’ of
knowledge and culture requires consideration not only of the rights and rewards
of today’s author but also of the freedom of tomorrow’s author to continue the
process.”11, dan juga dari
sisi pihak lainnya (penerbit, perpustakaan, toko buku, pengguna, peers, dsb.)
yang juga mempunyai peranan penting dalam komunikasi ilmiah.
Nama : Febrina Yunita
Kelas : 2EB08
NPM : 27211813
Link-link Gunadarma
Gunadarma University
BAAK Gunadarma
Student Site Gunadarma
Perpustakaan Online
SAP Gunadarma
0 komentar:
Posting Komentar