REVIEW JURNAL "HAK CIPTA DAN PENYEBARAN PENGETAHUAN"
Diao Ai Lien
Dosen Fakultas Hukum
Unika Atma Jaya Jakarta
II.
PEMBAHASAN
A.
HAMBATAN YANG DITIMBULKAN HAK CIPTA
TERHADAP PENYEBARAN PENGETAHUAN
Ada dua faktor yang membuat hak cipta karya
ilmiah mengandung potential problems bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Pertama adalah karakter (nature) dari hak cipta itu sendiri.
Hak cipta memberikan pemegangnya hak untuk mempengaruhi keseluruhan siklus
pengetahuan, secara positif maupun negatif, langsung maupun tidak langsung. Siklus
pengetahuan dimulai dari penciptaan pengetahuan (melalui berpikir analitis,
kritis, konstruktif), perekaman (menulis), publikasi (mengumumkan, menyebarkan),
akses (pencarian dan penelusuran informasi), penggunaan (memilih,
membaca, mencatat), sampai ke penciptaan kembali (lihat diagram di bawah
ini).
Dalam pelaksanaannya, setiap tahap tersebut,
langsung maupun tidak langsung, bersinggungan dengan hak cipta (hak ekonomi
maupun moral). Misalnya, penciptaan bisa terjadi kalau si pencipta mempunyai
kemudahan akses ke sumber yang lengkap. Pada waktu menulis (menyadur,
menterjemahkan, memodifikasi, dsb.), penulis harus memperhatikan hak cipta (hak
ekonomi dan hak moral) penulis dokumen yang digunakannya. Pada waktu publikasi
karyanya, penulis harus memperhatikan sejauh mana dia akan melepaskan hak
ekonominya dan apa konsekuensinya. Pada waktu publikasi karya orang lain,
seseorang harus memperhatikan sejauh mana dia boleh memfotokopi, menyediakan
’link’ ke karya tersebut. Demikian seterusnya. Karena itu, pemberlakuan hak
cipta yang berlebihan bisa menghambat perkembangan ilmu pengetahuan.
Faktor kedua yang bisa meningkatkan potensi
masalah yang ditimbulkan oleh hak cipta adalah, karena penulis dan pengguna
karya ilmiah seringkali adalah individu yang sama. Akibatnya, pelaksanaan hak
cipta memberi dampak ‘pedang bermata dua’ pada mereka, bukan hanya dalam kasus
pemanfaatan karya orang lain, tetapi juga karya sendiri; baik pada waktu hak
itu dipegang sendiri dan terlebih lagi bila diserahkan ke penerbit komersial.
Penyebaran pengetahuan ilmiah mulai dari
pencipta sampai ke pengguna melibatkan banyak pihak, yaitu pencipta (penulis),
penerbit (termasuk secondary publisher), penyalur (toko buku,
perpustakaan, dsb.), dan pengguna (lihat diagram berikut ini).
PENULIS
MENYERAHKAN HAK CIPTA KE PENERBIT
Di Indonesia, penulis artikel jurnal biasanya
menyerahkan hak ciptanya kepada penerbit, secara gratis atau hampir gratis
(penulis hanya mendapat honor sekadarnya). Di negara maju, terutama untuk
jurnal ilmiah bereputasi internasional, penulis bahkan harus membayar tidak
sedikit (dalam rupiah) untuk setiap artikel yang dimuat di jurnal tersebut, meskipun
hak ciptanya diserahkan ke penerbit. Dalam hal buku, biasanya penulis mendapat
royalti dari penyerahan hak ciptanya.
Ada beberapa kepentingan yang melatarbelakangi
praktek tersebut di atas, sehingga penyerahan hak cipta ke penerbit bisa
berlangsung sampai sekarang meskipun si penulis tidak mendapatkan keuntungan
materi.
Kepentingan
penulis. Salah satu hal yang menyebabkan penulis
dengan mudah menyerahkan hak ciptanya kepada penerbit adalah karena mereka
(dosen, peneliti, mahasiswa, dsb.) umumnya lebih mementingkan penyebaran
karyanya seluas-luasnya, daripada manfaat ekonominya. Di samping itu, ada
keharusan untuk menerbitkan buku dengan ISBN atau di jurnal yang mempunyai
reputasi (scholarly journal, terutama yang peer-reviewed) agar
persyaratan kenaikan pangkat (sebagai peneliti atau dosen) yang diberlakukan
oleh organisasi induknya dapat dipenuhi. Penerbitan ini juga untuk meningkatkan
reputasi mereka.
Kepentingan
penerbit. Penerbit mempunyai kepentingan untuk
menyebarkan suatu karya sambil mendapatkan keuntungan materi dari kegiatan
tersebut. Untuk itu, penerbit berusaha untuk meningkatkan kualitas isi dan
tampilan suatu tulisan, dan mendistribusikannya dalam jumlah besar dan cakupan
geografis yang luas. Penerbit meningkatkan kualitas suatu karya dengan cara
menyediakan peer reviewer, editor, perancang layout dan sampul depan,
dsb. Dengan demikian, mereka mempunyai modal (power) untuk menolak atau
menerima suatu karya untuk diterbitkan. Pertimbangan penerbit bisa dari segi
komersial dan/atau mutu. Penerbit bahkan bisa meminta penulis yang sudah
dikenal untuk menulis topik yang menurut mereka mempunyai nilai jual yang tinggi.
Kepentingan
pengguna. Penyerahan hak cipta ke penerbit memudahkan
pengguna pada saat ingin memperbanyak, mendistribusi, menterjemahkan, membuat
adaptasi, membuat pertunjukan, atau memperagakan (display) suatu karya
cipta. Mereka tidak harus susahpayah menghubungi penulisnya yang biasanya
alamatnya lebih sulit diperoleh dibandingkan dengan alamat penerbit.
Melihat uraian di atas, nampaknya tidak ada
permasalahan yang ditimbulkan oleh penyerahan hak cipta kepada penerbit. Apakah
demikian? Ternyata tidak demikian kenyataannya, terutama kalau hal ini dilihat
dari akumulasi pengetahuan yang sudah berlangsung begitu lama, dan melibatkan
penulis yang pernah, sedang dan akan hidup di muka bumi ini.
Penyerahan hak cipta oleh penulis kepada
penerbit sudah berlangsung berabad-abad, yaitu seusia penerbit tertua di dunia.
Elsevier Science misalnya sudah berada dalam bisnis penerbitan lebih dari satu
abad, dan jurnal-jurnal pertama diterbitkan tahun 1665 oleh Academie Francaise
di Paris dan Royal Society of London for the Promotion of Natural Knowledge3.
Untuk semua karya tersebut, bukan lagi penulisnya, tetapi penerbit yang
mempunyai hak eksklusif untuk memperbanyak, mengalih-mediakan, mendistribusikan,
menterjemahkan, membuat adaptasi, membuat pertunjukan, dan memperagakan (display).
Penerbit bahkan berhak juga untuk memindah-tangankan hak tersebut ke penerbit
lain (secondary publisher).
Itulah sebabnya penerbit bisa mencantumkan
pernyataan berikut ini dalam terbitannya: ”All rights reserved. No part of
this publication may be reproduced, stored in a retrieval system, or
transmitted in any form or by any means electronic, mechanical, photocopying,
recording or otherwise without the prior permission of the publisher.” Kutipan
ini diambil dari publikasi Ashgate Publishing Limited (Inggris) tahun
2003. Akibatnya, penulis suatu karya harus meminta ijin bahkan membayar pada
penerbit untuk menggunakan dan menyebarluaskan karyanya sendiri. Hal ini nampak
dari kutipan berikut ini5: “A professor
of English recently expressed dismay at having to ‘unpublish’ two of his
articles so that he could make them available to his students in a packet of
readings without having to pay royalties to his publisher.” (Bennett et
al., seperti dikutip oleh Nentwich, 2001, h. 3)
Untungnya Indonesia, seperti juga Amerika
Serikat dan beberapa negara lainnya, menerapkan doktrin atau asas fair use. Asas
ini memungkinkan pemanfaatan suatu karya tanpa seijin pemilik hak cipta
sepanjang untuk kegiatan pendidikan dan penelitian, dan bukan untuk tujuan
komersial.
Apakah dengan berlakunya asas fair use maka
penyerahan hak cipta kepada penerbit
tidak
menghambat penyebaran dan pemanfaatan suatu karya? Ternyata, walaupun demikian,
hak cipta masih tetap menimbulkan masalah.
Para penulis karya ilmiah yang pernah dan
sedang hidup saat ini sudah menghasilkan jutaan karya ilmiah yang telah
diserahkan hak ciptanya kepada penerbit. Mereka ini umumnya bekerja di
lembaga-lembaga pendidikan dan penelitian di seluruh dunia. Untuk memenuhi
kebutuhan informasi mereka, maka lembaga-lembaga penelitian dan pendidikan,
secara konsortium dan kebanyakan sendiri-sendiri, harus mendapatkan kembali
karya-karya tersebut dengan membayar mahal. Karya-karya tersebut umumnya dibeli
atau dilanggan melalui perpustakaan yang anggarannya terbatas menurut ukuran negara
maju apalagi negara sedang berkembang. Biaya yang mahal terutama sekali dirasakan
dalam hal berlangganan database dokumen elektronik.
Di
samping biaya lisensi yang tidak murah yang harus dibayar setiap tahun, kendala
yang harus dihadapi perpustakaan adalah tertutupnya akses ke database tersebut
pada saat langganan dihentikan. Ini berarti, meskipun pernah mengeluarkan
milyaran uang untuk database tersebut, perpustakaan tidak memiliki copy apapun
dari jurnal-jurnal dalam database tersebut. Hal ini berbeda dengan pembelian
atau langganan dokumen tercetak. Penyerahan hak cipta kepada penerbit juga
mempersulit si penulis sendiri untuk mengalih-mediakan (ke dalam dokumen
elektronik, cd-rom, dsb.) dan menyebar-luaskan karyanya (misalnya: memfotokopi,
menyediakan links). Tanpa seijin penerbit, penulis tidak bisa
mempublikasikan karyanya bahkan di situs (pribadi atau lembaga) sendiri. Penulis
juga tidak bisa mempublikasikan karya tersebut di jurnal lain yang mempunyai segmen
pembaca yang berbeda. Hal ini tentu saja menghambat penyebaran informasi. Padahal,
menurut penelitian, akses yang dibuka seluas-luasnya dan semudah-mudahnya ke
suatu dokumen sangat meningkatkan pemanfaatan dokumen tersebut (lihat datanya
di bagian kedua tulisan ini). Bagaimana kalau penulis tidak menyerahkan hak ciptanya
ke penerbit?
HAK
CIPTA TETAP DIPEGANG OLEH PENULIS
Seandainya hak cipta dipegang dan dikelola
oleh penulis, maka inilah yang akan terjadi.
Setiap
kali ada orang yang ingin memperbanyak, mendistribusikan, dan mengubah (mengalih-media,
menterjemahkan, menyadur, dsb.) suatu karya, dia harus menghubungi penulisnya.
Syukur apabila penulis tersebut mudah dijangkau melalui e-mail atau telepon.
Mengurus perijinan ini pastilah sedikit atau banyak, akan memakan waktu, apalagi
kalau memerlukan paper works. Kalau tidak berhasil menghubungi si
penulis, maka pengguna akan (harus) mengurungkan niatnya untuk memperbanyak, mendistribusikan,
dan/atau mengubah karya tersebut. Ini tentu saja mengurangi penyebaran dan
pemanfaatan karya yang bersangkutan. Padahal bukankah kepuasan penulis adalah
bila karyanya dapat tersebar seluas-luasnya dan dimanfaatkan oleh banyak orang
dalam waktu yang sesingkat mungkin (dikutip oleh banyak orang bahkan langsung sesudah
dipublikasi)?
Di samping itu, dalam hal penulis yang
memegang dan mengelola hak cipta, penulis akan
direpotkan
dengan permintaan ijin atau pengelolaan lisensi, terutama bila dia begitu produktif
dan banyak pihak yang ingin menyebarluaskan dan mengubah karyanya. Hal ini
sedikit atau banyak akan memperlambat urusan perijinan. Dari segi penerbit,
apakah pemberian lisensi kepada penerbit tidak akan meningkatkan harga beli
atau langganan karya ilmiah? Bisa ya bisa tidak tergantung seberapa banyak harga
yang harus dibayar oleh penerbit kepada setiap penulis untuk setiap artikel. Bayangkan
kalau agen database elektronik yang memuat ratusan jurnal dan ratusan ribu artikel
harus membayar lisensi untuk setiap artikel yang terkandung di dalam databasenya.
Nama : Febrina Yunita
Kelas : 2EB08
NPM : 27211813
Link-link Gunadarma
Gunadarma University
BAAK Gunadarma
Student Site Gunadarma
Perpustakaan Online
SAP Gunadarma
0 komentar:
Posting Komentar