Shiny Sky Blue Star

Sabtu, 04 Mei 2013

POSTING JURNAL HAKI 4


REVIEW JURNAL "HAK CIPTA DAN PENYEBARAN PENGETAHUAN"

Diao Ai Lien
Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta

II. PEMBAHASAN

A.     HAMBATAN YANG DITIMBULKAN HAK CIPTA TERHADAP PENYEBARAN PENGETAHUAN

Ada dua faktor yang membuat hak cipta karya ilmiah mengandung potential problems bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Pertama adalah karakter (nature) dari hak cipta itu sendiri. Hak cipta memberikan pemegangnya hak untuk mempengaruhi keseluruhan siklus pengetahuan, secara positif maupun negatif, langsung maupun tidak langsung. Siklus pengetahuan dimulai dari penciptaan pengetahuan (melalui berpikir analitis, kritis, konstruktif), perekaman (menulis), publikasi (mengumumkan, menyebarkan), akses (pencarian dan penelusuran informasi), penggunaan (memilih, membaca, mencatat), sampai ke penciptaan kembali (lihat diagram di bawah ini).
Dalam pelaksanaannya, setiap tahap tersebut, langsung maupun tidak langsung, bersinggungan dengan hak cipta (hak ekonomi maupun moral). Misalnya, penciptaan bisa terjadi kalau si pencipta mempunyai kemudahan akses ke sumber yang lengkap. Pada waktu menulis (menyadur, menterjemahkan, memodifikasi, dsb.), penulis harus memperhatikan hak cipta (hak ekonomi dan hak moral) penulis dokumen yang digunakannya. Pada waktu publikasi karyanya, penulis harus memperhatikan sejauh mana dia akan melepaskan hak ekonominya dan apa konsekuensinya. Pada waktu publikasi karya orang lain, seseorang harus memperhatikan sejauh mana dia boleh memfotokopi, menyediakan ’link’ ke karya tersebut. Demikian seterusnya. Karena itu, pemberlakuan hak cipta yang berlebihan bisa menghambat perkembangan ilmu pengetahuan.
Faktor kedua yang bisa meningkatkan potensi masalah yang ditimbulkan oleh hak cipta adalah, karena penulis dan pengguna karya ilmiah seringkali adalah individu yang sama. Akibatnya, pelaksanaan hak cipta memberi dampak ‘pedang bermata dua’ pada mereka, bukan hanya dalam kasus pemanfaatan karya orang lain, tetapi juga karya sendiri; baik pada waktu hak itu dipegang sendiri dan terlebih lagi bila diserahkan ke penerbit komersial.
Penyebaran pengetahuan ilmiah mulai dari pencipta sampai ke pengguna melibatkan banyak pihak, yaitu pencipta (penulis), penerbit (termasuk secondary publisher), penyalur (toko buku, perpustakaan, dsb.), dan pengguna (lihat diagram berikut ini).

PENULIS MENYERAHKAN HAK CIPTA KE PENERBIT

Di Indonesia, penulis artikel jurnal biasanya menyerahkan hak ciptanya kepada penerbit, secara gratis atau hampir gratis (penulis hanya mendapat honor sekadarnya). Di negara maju, terutama untuk jurnal ilmiah bereputasi internasional, penulis bahkan harus membayar tidak sedikit (dalam rupiah) untuk setiap artikel yang dimuat di jurnal tersebut, meskipun hak ciptanya diserahkan ke penerbit. Dalam hal buku, biasanya penulis mendapat royalti dari penyerahan hak ciptanya.
Ada beberapa kepentingan yang melatarbelakangi praktek tersebut di atas, sehingga penyerahan hak cipta ke penerbit bisa berlangsung sampai sekarang meskipun si penulis tidak mendapatkan keuntungan materi.
Kepentingan penulis. Salah satu hal yang menyebabkan penulis dengan mudah menyerahkan hak ciptanya kepada penerbit adalah karena mereka (dosen, peneliti, mahasiswa, dsb.) umumnya lebih mementingkan penyebaran karyanya seluas-luasnya, daripada manfaat ekonominya. Di samping itu, ada keharusan untuk menerbitkan buku dengan ISBN atau di jurnal yang mempunyai reputasi (scholarly journal, terutama yang peer-reviewed) agar persyaratan kenaikan pangkat (sebagai peneliti atau dosen) yang diberlakukan oleh organisasi induknya dapat dipenuhi. Penerbitan ini juga untuk meningkatkan reputasi mereka.
Kepentingan penerbit. Penerbit mempunyai kepentingan untuk menyebarkan suatu karya sambil mendapatkan keuntungan materi dari kegiatan tersebut. Untuk itu, penerbit berusaha untuk meningkatkan kualitas isi dan tampilan suatu tulisan, dan mendistribusikannya dalam jumlah besar dan cakupan geografis yang luas. Penerbit meningkatkan kualitas suatu karya dengan cara menyediakan peer reviewer, editor, perancang layout dan sampul depan, dsb. Dengan demikian, mereka mempunyai modal (power) untuk menolak atau menerima suatu karya untuk diterbitkan. Pertimbangan penerbit bisa dari segi komersial dan/atau mutu. Penerbit bahkan bisa meminta penulis yang sudah dikenal untuk menulis topik yang menurut mereka mempunyai nilai jual yang tinggi.
Kepentingan pengguna. Penyerahan hak cipta ke penerbit memudahkan pengguna pada saat ingin memperbanyak, mendistribusi, menterjemahkan, membuat adaptasi, membuat pertunjukan, atau memperagakan (display) suatu karya cipta. Mereka tidak harus susahpayah menghubungi penulisnya yang biasanya alamatnya lebih sulit diperoleh dibandingkan dengan alamat penerbit.
Melihat uraian di atas, nampaknya tidak ada permasalahan yang ditimbulkan oleh penyerahan hak cipta kepada penerbit. Apakah demikian? Ternyata tidak demikian kenyataannya, terutama kalau hal ini dilihat dari akumulasi pengetahuan yang sudah berlangsung begitu lama, dan melibatkan penulis yang pernah, sedang dan akan hidup di muka bumi ini.
Penyerahan hak cipta oleh penulis kepada penerbit sudah berlangsung berabad-abad, yaitu seusia penerbit tertua di dunia. Elsevier Science misalnya sudah berada dalam bisnis penerbitan lebih dari satu abad, dan jurnal-jurnal pertama diterbitkan tahun 1665 oleh Academie Francaise di Paris dan Royal Society of London for the Promotion of Natural Knowledge3. Untuk semua karya tersebut, bukan lagi penulisnya, tetapi penerbit yang mempunyai hak eksklusif untuk memperbanyak, mengalih-mediakan, mendistribusikan, menterjemahkan, membuat adaptasi, membuat pertunjukan, dan memperagakan (display). Penerbit bahkan berhak juga untuk memindah-tangankan hak tersebut ke penerbit lain (secondary publisher).
Itulah sebabnya penerbit bisa mencantumkan pernyataan berikut ini dalam terbitannya: ”All rights reserved. No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system, or transmitted in any form or by any means electronic, mechanical, photocopying, recording or otherwise without the prior permission of the publisher.” Kutipan ini diambil dari publikasi Ashgate Publishing Limited (Inggris) tahun 2003. Akibatnya, penulis suatu karya harus meminta ijin bahkan membayar pada penerbit untuk menggunakan dan menyebarluaskan karyanya sendiri. Hal ini nampak dari kutipan berikut ini5: “A professor of English recently expressed dismay at having to ‘unpublish’ two of his articles so that he could make them available to his students in a packet of readings without having to pay royalties to his publisher.” (Bennett et al., seperti dikutip oleh Nentwich, 2001, h. 3)
Untungnya Indonesia, seperti juga Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya, menerapkan doktrin atau asas fair use. Asas ini memungkinkan pemanfaatan suatu karya tanpa seijin pemilik hak cipta sepanjang untuk kegiatan pendidikan dan penelitian, dan bukan untuk tujuan komersial.
Apakah dengan berlakunya asas fair use maka penyerahan hak cipta kepada penerbit
tidak menghambat penyebaran dan pemanfaatan suatu karya? Ternyata, walaupun demikian, hak cipta masih tetap menimbulkan masalah.
Para penulis karya ilmiah yang pernah dan sedang hidup saat ini sudah menghasilkan jutaan karya ilmiah yang telah diserahkan hak ciptanya kepada penerbit. Mereka ini umumnya bekerja di lembaga-lembaga pendidikan dan penelitian di seluruh dunia. Untuk memenuhi kebutuhan informasi mereka, maka lembaga-lembaga penelitian dan pendidikan, secara konsortium dan kebanyakan sendiri-sendiri, harus mendapatkan kembali karya-karya tersebut dengan membayar mahal. Karya-karya tersebut umumnya dibeli atau dilanggan melalui perpustakaan yang anggarannya terbatas menurut ukuran negara maju apalagi negara sedang berkembang. Biaya yang mahal terutama sekali dirasakan dalam hal berlangganan database dokumen elektronik.
               Di samping biaya lisensi yang tidak murah yang harus dibayar setiap tahun, kendala yang harus dihadapi perpustakaan adalah tertutupnya akses ke database tersebut pada saat langganan dihentikan. Ini berarti, meskipun pernah mengeluarkan milyaran uang untuk database tersebut, perpustakaan tidak memiliki copy apapun dari jurnal-jurnal dalam database tersebut. Hal ini berbeda dengan pembelian atau langganan dokumen tercetak. Penyerahan hak cipta kepada penerbit juga mempersulit si penulis sendiri untuk mengalih-mediakan (ke dalam dokumen elektronik, cd-rom, dsb.) dan menyebar-luaskan karyanya (misalnya: memfotokopi, menyediakan links). Tanpa seijin penerbit, penulis tidak bisa mempublikasikan karyanya bahkan di situs (pribadi atau lembaga) sendiri. Penulis juga tidak bisa mempublikasikan karya tersebut di jurnal lain yang mempunyai segmen pembaca yang berbeda. Hal ini tentu saja menghambat penyebaran informasi. Padahal, menurut penelitian, akses yang dibuka seluas-luasnya dan semudah-mudahnya ke suatu dokumen sangat meningkatkan pemanfaatan dokumen tersebut (lihat datanya di bagian kedua tulisan ini). Bagaimana kalau penulis tidak menyerahkan hak ciptanya ke penerbit?

HAK CIPTA TETAP DIPEGANG OLEH PENULIS

Seandainya hak cipta dipegang dan dikelola oleh penulis, maka inilah yang akan terjadi.
Setiap kali ada orang yang ingin memperbanyak, mendistribusikan, dan mengubah (mengalih-media, menterjemahkan, menyadur, dsb.) suatu karya, dia harus menghubungi penulisnya. Syukur apabila penulis tersebut mudah dijangkau melalui e-mail atau telepon. Mengurus perijinan ini pastilah sedikit atau banyak, akan memakan waktu, apalagi kalau memerlukan paper works. Kalau tidak berhasil menghubungi si penulis, maka pengguna akan (harus) mengurungkan niatnya untuk memperbanyak, mendistribusikan, dan/atau mengubah karya tersebut. Ini tentu saja mengurangi penyebaran dan pemanfaatan karya yang bersangkutan. Padahal bukankah kepuasan penulis adalah bila karyanya dapat tersebar seluas-luasnya dan dimanfaatkan oleh banyak orang dalam waktu yang sesingkat mungkin (dikutip oleh banyak orang bahkan langsung sesudah dipublikasi)?
Di samping itu, dalam hal penulis yang memegang dan mengelola hak cipta, penulis akan
direpotkan dengan permintaan ijin atau pengelolaan lisensi, terutama bila dia begitu produktif dan banyak pihak yang ingin menyebarluaskan dan mengubah karyanya. Hal ini sedikit atau banyak akan memperlambat urusan perijinan. Dari segi penerbit, apakah pemberian lisensi kepada penerbit tidak akan meningkatkan harga beli atau langganan karya ilmiah? Bisa ya bisa tidak tergantung seberapa banyak harga yang harus dibayar oleh penerbit kepada setiap penulis untuk setiap artikel. Bayangkan kalau agen database elektronik yang memuat ratusan jurnal dan ratusan ribu artikel harus membayar lisensi untuk setiap artikel yang terkandung di dalam databasenya.

Nama  : Febrina Yunita
Kelas  : 2EB08
NPM   : 27211813



Link-link Gunadarma
Gunadarma University
BAAK Gunadarma
Student Site Gunadarma
Perpustakaan Online
SAP Gunadarma

0 komentar:

Posting Komentar