Shiny Sky Blue Star

Sabtu, 04 Mei 2013

POSTING JURNAL HAKI 5


REVIE JURNAL "HAK CIPTA DAN PENYEBARAN PENGETAHUAN"

Diao Ai Lien
Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta

B.          PENERAPAN HAK CIPTA DI ERA KEMAJUAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN INFORMASI

Di era kemajuan teknologi komunikasi dan informasi ini, publikasi, alih media, dan penyebaran informasi bisa dilakukan dengan mudah oleh siapa saja dan ke mana saja. Selesai menulis, meskipun baru berupa draft pertama, penulis dapat segera menaruhnya di suatu situs, webblog, ataupun milis. Melalui sarana ini, penulis bisa meminta masukan dari pembaca yang berasal dari pelbagai bangsa dan disiplin ilmu. Penulis dengan mudah bisa merevisi publikasinya, kapan saja (tidak harus menunggu sampai karya tersebut beredar selama 1 tahun misalnya, atau sesudah cetakan pertamanya habis terjual). Di samping itu, penulis dan setiap orang yang mengetahuinya, dapat menyebarkan alamat dokumen tersebut melalui milis atau email pribadi. Dokumen tersebut pun dengan mudah dapat dimanfaatkan oleh siapa saja.
Praktek tersebut di atas, yang disebut dengan open access, sudah merupakan perkara biasa di dunia maya. Hal ini sudah terbukti mempercepat penyebaran dan pemanfaatan karya ilmiah. Menurut Sahu, Gogtay, & Bavdekar (2005), open access memperbaiki tingkat kutipan (citation rates) di bidang fisika, matematika, dan astronomi6. Penelitian mereka terhadap sebuah jurnal multi-disiplin yang mengadopsi open access (OA) setelah 10 tahun terbit (setelah tahun 2000), menemukan antara lain, bahwa tidak satu pun artikel yang dipublikasikan sebelum OA dikutip pada tahun terbit. Sebaliknya, artikel yang dipublikasikan setelah OA, yaitu tahun 2002, 2003, dan 2004, dikutip 3, 7, dan 22 kali berturut-turut pada tahun terbit7.
Dengan bantuan teknologi, sepanjang tidak dibatasi oleh hak cipta (terutama hak ekonomi), percepatan penyebaran dan pemanfaatan pengetahuan bisa dengan mudah berlangsung tidak hanya di dalam disiplin ilmu yang sama, tetapi juga lintas disiplin. Kolaborasi ilmiah bisa berlangsung dengan mudah secara lintas batas geografi, waktu, disiplin, hirarkhi sosial, dan budaya. Kemudahan ini sangat mempercepat perkembangan ilmu pengetahuan.
Pertanyaannya sekarang adalah: apakah kemudahan yang diberikan oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informasi ini harus dihambat oleh hak cipta baik yang dipegang oleh penulis maupun penerbit? Apalagi penerapan hak cipta bisa berdampak seperti ’pedang bermata dua’ bagi penulis dan pengguna, bukan hanya dalam kasus pemanfaatan karya orang lain, tetapi juga karya sendiri.
Sebetulnya, pertanyaan yang mendasar adalah apakah masih dapat dibenarkan pemberlakuan hak cipta yang jangka waktunya begitu lama kalau memang perkembangan ilmu pengetahuan menjadi kepedulian utama semua pihak? Apalagi sampai memberlakukan harga yang begitu tinggi untuk lisensi setiap tahun per pengguna untuk dokumen elektronik yang tidak dapat diakses lagi pada saat sudah tidak dilanggan.
Sebetulnya, dasar pemberlakuan hak cipta adalah bahwa penulis perlu mendapat insentif untuk keorisinilan karyanya. Namun pertanyaannya adalah: siapakah sesungguhnya penulis suatu karya ilmiah?
Pengembangan ilmu pengetahuan merupakan usaha kolektif yang melibatkan ilmuwan yang hidup sejak dahulu sampai yang akan datang, karena pengembangan pengetahuan= senantiasa (harus) didasarkan pada penemuan-penemuan terdahulu. Dalam kenyataannya pun, suatu karya ilmiah jarang merupakan karya murni (utuh) penulisnya. Di dalamnya ada banyak pemikiran orang lain. Mungkin hanya sekian persen saja dari suatu karya merupakan hasil dari penulisnya (kecuali hasil penelitian yang berdasarkan eksperimen di laboratorium). Hasil penelitian tentang gaya hidup anak jalanan, misalnya, apalagi dengan menggunakan metode kualitatif, sebenarnya merupakan hasil bersama antara peneliti, anak jalanan (subyek penelitian), informan lainnya, dan penulis yang karyanya digunakan oleh si peneliti dalam penelitiannya. Dalam kenyataannya juga, bahkan pengguna turut memberikan sumbangan pemikiran dalam penerbitan suatu karya (dengan cara memberikan opini secara lisan maupun tertulis, melalui Internet atau dalam seminar, dsb.). Menurut Durham8, ”Naive acceptance of authorship as a predominantly individual and creative act may foster authorial rights that are too broad or too powerful for the good of society.”
Dengan demikian, tidak adil kalau atas suatu karya ilmiah, hak cipta (hak ekonomi) hanya diberikan pada penulisnya yang terdiri dari satu atau beberapa orang yang tercantum di bawah judul suatu karya. Apalagi kalau hak itu kemudian diberikan kepada penerbit yang justru (hampir) tidak turut dalam penciptaan namun yang akan mendapat keuntungan ekonomi terbesar.
Karena itu, sudah waktunya untuk memikirkan beberapa skenario lain untuk pengelolaan hak cipta, yaitu:
1.     hak cipta direduksi menjadi hanya hak moral
2.     hak cipta diberlakukan secara utuh tetapi tidak eklusif
3.     hak cipta diberlakukan secara utuh dan eksklusif tetapi dalam jangka waktu yang terbatas
4.     pilihan 1-3 diserahkan pada penulis atau kesepakatan antara penulis dan penerbit.

1.      Hak cipta direduksi menjadi hak moral
Yang dimaksud dengan pernyataan tersebut di atas adalah pemberlakuan hak cipta hanya sebatas hak moralnya. Dengan demikian siapa pun bisa mereproduksi, mengalihmediakan, dan menyebarkan suatu karya ilmiah, sepanjang bukan untuk tujuan komersial. Dengan demikian, jalur penyebaran informasi bisa lebih dipersingkat dengan memindahkan kendali penyebaran karya ilmiah dari penerbit ke penulis dan masyarakat, dan mengurangi proses publikasi yang lama dan biaya yang mahal. Monopoli hak cipta pun terhindari.
Hak cipta jenis ini sudah diberlakukan oleh gerakan Open Access (OA). Definisi OA menurut Budapest Open Access Initiative dan Public Library of Science adalah9: “the free availability of literature on the public Internet, permitting any users to read, download, copy, distribute, print, search, or link to the full texts of these articles, crawl them for indexing, pass them as data to software, or use them for any other lawful purpose, without financial, legal, or technical barriers other than those inseparable from gaining access to the internet itself.” (Birdsall, 2005) Di dalam konsep OA tersebut terkandung copyleft, yaitu sekumpulan lisensi yang diberikan pada setiap orang yang memiliki kopi suatu karya ilmiah untuk menjamin agar orang tersebut dapat menjalankan hak ekonomi atas karya tersebut (menggandakan, menyebarluaskan, memodifikasi) dengan syarat karya tersebut dan turunannya disebarkan dengan lisensi yang sama10. Dalam skenario ini, OA dan copyleft diberlakukan tidak hanya untuk dokumen elektronik, tetapi juga tercetak. Dengan cara demikian, hak cipta tidak hanya menguntungkan segelintir orang (terutama penerbit yang justru tidak turut dalam penciptaan) dan mengabaikan kontribusi banyak orang terhadap penciptaan suatu karya. Untuk mengurangi ketergantungan pada penerbit, peraturan mengenai penilaian dosen dan peneliti juga harus diubah, terutama dalam hal keharusan untuk menerbitkan dalam jurnal terakreditisasi dan/atau peer-reviewed. Kegiatan peer-review itu sendiri sebetulnya sudah bisa dilakukan di lembaga tempat dosen atau peneliti bekerja ataupun secara informal melalui rekan-rekan di milis. Dalam hal penerbit masih diperlukan untuk penyebaran dan menjamin dokumentasi, pemerintah perlu membuat peraturan agar penerbitan dikelola oleh lembaga not-for profit yang tidak diperbolehkan mengambil keuntungan yang tidak wajar dari usaha penerbitannya sehingga menghambat penyebaran pengetahuan ilmiah. Dalam menentukan harga jual, penerbit harus mendasarkan penghitungannya lebih pada biaya daripada keuntungan. Penerbit harus transparan dalam hal melaporkan pengelolaan biaya produksi, serta menentukan harga jual yang tidak melebihi batas yang ditentukan pemerintah.

2.     Hak cipta diberlakukan secara utuh tetapi tidak eklusif
Dalam hal ini, hak cipta tetap mengandung hak ekonomi dan hak moral. Namun siapapun yang memegangnya (penulis maupun penerbit), hak cipta (terutama hak ekonominya) tersebut tidak berlaku eksklusif dan dapat digunakan oleh siapa saja yang mempunyai dokumen yang bersangkutan, sepanjang tidak untuk tujuan komersial. Dengan demikian, meskipun hak cipta sudah diserahkan ke penerbit, penulis bisa dengan leluasa memberikan hak ciptanya ke pihak lain lagi dengan atau tanpa royalti. Penulis juga bisa dengan bebas mereproduksi, mengalihmediakan, dan mendistribusikan karyanya, di mana saja dan kapan saja. Penulis dapat menerbitkan karya yang sama di lebih dari satu media sepanjang media-media tersebut tidak berkeberatan mengenai hal ini, dan situasi ini dinyatakan dengan jelas di dalam publikasinya. Konsumen juga bisa memilih antara mendapatkan akses suatu karya melalui penerbit atau penulis atau melalui cara lain (misalnya dengan memfotokopi dari perpustakaan atau rekan sekerja). Dengan demikian tidak akan ada lagi monopoli hak cipta.

3.     Hak cipta diberlakukan secara utuh dan eksklusif tetapi dalam jangka waktu yang terbatas
Yang dimaksudkan dengan hal ini adalah, hak cipta tetap mengandung hak ekonomi dan hak moral, dan berlaku eksklusif bagi pemegangnya, namun jangka waktu berlaku hak ekonominya hanya 1-2 tahun (tergantung sejauh mana perkembangan pengetahuan akan ’dihambat’ demi pengumpulan keuntungan ekonomi). Sesudah jangka waktu tersebut berlalu, maka hak cipta utuh namun tidak eksklusif yang berlaku (lihat no. 2). Dengan perkataan lain, monopoli hak cipta hanya terjadi dalam waktu yang sangat terbatas.
4.     Pilihan diserahkan pada pemilik hak cipta
Negara atau komunitas yang memilih pengaturan hak cipta jenis ini, membiarkan para pelaku komunikasi ilmiah memilih sendiri di antara 3 pilihan tersebut di atas. Tugas pemerintah adalah menyediakan aturan permainannya. Pilihan apa pun yang diambil harus dengan tujuan untuk meningkatkan kecepatan perkembangan dan mutu ilmu pengetahuan yang bersangkutan.

III. RANGKUMAN

Hak cipta berpotensi menimbulkan masalah dalam pengembangan pengetahuan karena nature dari hak cipta itu sendiri. Potensi tersebut semakin besar karena dalam konteks pengetahuan ilmiah, produsen dan konsumen pengetahuan adalah orang yang sama. Di samping itu, karena tidak ada karya ilmiah yang tingkat keorisinilannya 100%, maka monopoli hak cipta oleh penulis patut dipertanyakan kelayakannya.
Untuk mengatasi atau meminimalkan dampak negatif hak cipta terhadap penyebaran dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah; suatu komunitas, negara, atau masyarakat internasional perlu memikirkan beberapa skenario penerapan hak cipta. Skenario apa pun yang dipilih, harus didasarkan pada pertimbangan ‘untuk kemajuan ilmu pengetahuan’, dilihat dari sisi pengarang yang hidup hari ini maupun yang akan datang, ”... ensuring the ’progress’ of knowledge and culture requires consideration not only of the rights and rewards of today’s author but also of the freedom of tomorrow’s author to continue the process.”11, dan juga dari sisi pihak lainnya (penerbit, perpustakaan, toko buku, pengguna, peers, dsb.) yang juga mempunyai peranan penting dalam komunikasi ilmiah.

Nama : Febrina Yunita
Kelas  : 2EB08
NPM  : 27211813




Link-link Gunadarma
Gunadarma University
BAAK Gunadarma
Student Site Gunadarma
Perpustakaan Online
SAP Gunadarma

0 komentar:

Posting Komentar